EDITING

Pengantar Tulisan di bawah ini merupakan terjemahan bab pertama dari buku biografi Max Perkins yang berjudul Max Perkins: Editor of Genius karya A. Scott Berg. Fiksi Lotus mengangkat tulisan ini karena Max Perkinsmerupakan editor yang paling disegani di dunia kesusastraan AS pada jamannya (bahkan sampai sekarang). Lebih dari itu, Max Perkins juga dikenal karena keunikan hubungan kerja beliau dengan sejumlah penulis legendaris, seperti F. Scott Fitzgerald, Ernest Hemingway, Thomas Wolfe, dan Marjorie Kinnan Rawlings. Selamat menikmati! Tidak lama setelah pukul 6 sore, ketika hujan deras menggempur Kota New York, seorang laki-laki bertubuh ramping dan berambut abu-abu duduk di bar favorit-nya di Hotel Ritz seraya menenggak beberapa gelas martini. Saat itu bulan Maret, tahun 1946. Setelah efek alkohol menumbuhkan rasa percaya diri yang ia butuhkan, pria tersebut meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja bar, mengenakan jas overcoat serta topi, dan beranjak pergi. Keluar dari Hotel Ritz, ia berbaur di antara kerumunan para pejalan kaki yang memenuhi area mid-Manhattan meski hujan terus mengguyur. Di tangan kanannya terdapat sebentuk payung, sementara tangan kirinya menenteng sebentuk tas kerja yang terlihat berat dan penuh. Tanpa mengindahkan sekelilingnya, dia berjalan ke arah barat menuju sebuah toko buku kecil di jalan 43rd Street yang jaraknya hanya beberapa blok saja. Di dalam toko buku, tidak kurang dari 30 orang muda-mudi bergerombol menanti kedatangan laki-laki tersebut. Mereka adalah para mahasiswa dan mahasiswi yang sedang mengambil kursus tambahan di bidang penerbitan buku, diadakan oleh New York University dan dipimpin oleh Kenneth D. McCormick, Editor-in-Chief dari penerbitan berskala internasional Doubleday & Company. Semua yang hadir di sana tampak begitu bersemangat untuk tahu lebih banyak tentang dunia penerbitan; dan mereka juga rutin menghadiri seminar-seminar berkaitan untuk memperbesar peluang mereka di kemudian hari. Umumnya, tak sedikit mahasiswa yang telat menghadiri seminar karena satu dan lain hal; namun, malam itu, Kenneth melihat bahwa semua justru hadir beberapa menit lebih awal. Mereka sudah duduk rapi saat jam dinding menunjukkan pukul 6 sore. Kenneth tahu benar apa yang menyebabkan fenomena tersebut. Seminar malam ini mengacu pada topik pengeditan buku dan dia telah membujuk seorang editor yang paling disegani di Amerika Serikat dengan reputasi legendaris untuk datang dan “berbicara sedikit” kepada murid-muridnya. Maxwell Evarts Perkins mungkin tidak begitu dikenal oleh khalayak umum, tetapi bagi sekian banyak individu yang bergulat di bidang penerbitan, ia tak ubahnya seorang pahlawan. Max adalah editor yang sangat handal. Di masa mudanya, ia telah memupuk sejumlah bakat-bakat baru yang berhasil menjadi figur raksasa di dunia sastra—seperti F. Scott Fitzgerald, Ernest Hemingway, dan Thomas Wolfe. Ia bahkan mempertaruhkan kariernya sendiri untuk mereka, mendobrak tembok-tembok kesusastraan yang didirikan di abad sebelumnya dan memimpin sebuah revolusi yang mengubah wujud Sastra Amerika untuk selamanya. Namanya lekat dengan Charles Scribner’s Sons—penerbitan bergengsi di kota New York yang sekarang beroperasi di bawah bendera Simon & Schuster—karena selama 36 tahun masa kerjanya disana, tak ada editor lain yang sanggup menyamai rekor-nya dalam “menemukan” para pengarang berbakat dan mencetak karya-karya besar mereka untuk dinikmati khalayak umum. Beberapa siswa Kenneth bahkan mengakui bahwa Max Perkins adalah salah satu alasan kenapa mereka tertarik menyelami dunia penerbitan. Kenneth kemudian meminta seisi ruangan untuk diam, mengetuk permukaan meja lipat di hadapannya dengan telapak tangan, sebelum memulai seminar dengan menjelaskan fungsi kerja seorang editor. Tugas seorang editor, jelasnya, sudah banyak berubah sejak dulu; tidak melulu menangani kesalahan eja dan tanda baca, melainkan menentukan apa yang harus diterbitkan, bagaimana cara menerbitkannya, dan apa yang perlu dilakukan untuk meraih jumlah pembaca terbesar. Untuk semua kriteria di atas, Kenneth melanjutkan, Max Perkins adalah yang terbaik. Penilaiannya akan karya-karya sastra condong memiliki pendekatan orisinil dan tepat sasaran; selebihnya, Max dipuji karena kemampuannya menyemangati para penulis untuk menghasilkan karya-karya terbaik. Bagi para penulis yang ia bimbing, Max Perkins adalah seorang teman, bukan sekadar rekan kerja—dan ia akan berusaha untuk membantu mereka dalam segala hal. Misalnya, membantu menetapkan struktur pada karya tulisan, jika memang diperlukan; memikirkan judul-judul yang menarik, memberi ide-ide plot; dan mengambil peran penting sebagai seorang terapis, penasihat, manajer, dan peminjam uang. Hanya ada segelintir editor yang rela menghabiskan banyak waktu untuk menyempurnakan naskah tulisan, tapi Max Perkins tetap memegang teguh prinsipnya: “Sebuah buku akan selalu kembali kepada penulisnya.” Dalam beberapa hal, Kenneth mengakui bahwa Max Perkins tidak mencerminkan profesi-nya sebagai seorang editor: ejaannya sering salah, caranya membubuhkan tanda baca juga tak jarang meleset dari kurikulum penggunaan tanda baca yang baik dan benar, dan dia butuh waktu lama untuk menyelesaikan satu naskah tulisan. “Seperti kerbau berjalan,” ujar Max perihal kecepatannya dalam membaca. Walau begitu, ia memperlakukan karya sastra layaknya seorang dokter yang mempertimbangkan antara hidup dan mati seorang pasien. Suatu kali, ia menulis surat kepada Thomas Wolfe dan berkata: “Tak ada yang lebih penting di dunia ini daripada sebuah buku.” Ketenaran Max sebagai seorang editor legendaris mungkin disebabkan oleh beberapa hal: a) di masanya, dia adalah editor paling ternama; b) para penulis-nya banyak yang menyandang predikat ganda sebagai selebriti; dan c) ia memiliki kepribadian eksentris—tapi hampir semua kisah-kisah seru tentang Max berakar pada kenyataan. Semua hadirin yang ada di toko buku malam itu telah mendengar setidaknya satu kisah gila tentang bagaimana Max “menemukan” F. Scott Fitzgerald; atau bagaimana istri Scott, Zelda, pernah berkendara bersama Max di dalam kendaraan milik Scott yang akhirnya terpuruk di Danau Long Island Sound; atau bagaimana Max membujuk rumah penerbitan tempatnya bekerja untuk meminjamkan uang sebesar ribuan dolar kepada Scott, dan bagaimana ia kemudian menyelamatkan si penulis dari gangguan depresi. Kisah lain mengacu pada momen di mana Max pernah menyetujui penerbitan novel pertama karya Ernest Hemingway yang berjudul The Sun Also Risestanpa membaca isinya terlebih dahulu, hingga ia sekali lagi harus mempertaruhkan kariernya di Charles Scribner’s Sons begitu naskah yang ditunggu tiba. Pasalnya, Ernest menggunakan bahasa kasar yang bagi perusahaan bergengsi seperti Charles Scribner’s Sons tergolong sebagai bahasa orang tak berpendidikan. Maka tak heran bila kisah favorit tentang pertengkaran Max dengan Charles Scribner, pemilik Charles Scribner’s Sons, menyangkut penggunaan repetitif kata-kata slang empat huruf dalam novel ke-dua karya Ernest Hemingway yang berjudul A Farewell to Arms. Menurut para saksi, Max menuliskan setiap kata yang ingin ia pertahankan—shit, fuck, piss—di kalender mejanya, tanpa mengindahkan kalimat yang tertera di atas kalender tersebut: “Things To Do Today”. Charles Scribner sempat berkomentar bahwa apabila Max perlu mengingatkan dirinya sendiri untuk melakukan ketiga hal tersebut, maka dia patut memeriksakan diri ke dokter. Selain itu, kisah yang paling sering diasosiasikan dengan kepiawaian Max sebagai seorang editor umumnya terkait dengan hubungan editor-penulis antara dirinya dan Thomas Wolfe. Tulisan dan temperamen Thomas yang terkenal tanpa batas sudah lama menghantui dunia kesusastraan di AS. Ada yang mengatakan bahwa Thomas menulis naskah Of Time and the River sambil bersandar di kulkas: dengan tinggi tubuh lebih dari 2 meter ia menggunakan permukaan kulkas sebagai meja, dan melempar setiap lembar kertas yang selesai ia tulis ke dalam kotak kayu tanpa dibaca ulang. Sebuah adegan unik di mana tiga orang pria berbadan besar menggotong kotak kayu berbobot berat itu ke dalam ruang kerja Max kerap diceritakan ulang oleh para saksi yang bekerja di Charles Scribner’s Sons dengan rasa takjub. Terutama karena Max berhasil mengubah tumpukkan kertas di dalam kotak itu menjadi buku-buku yang layak dibaca. Para hadirin seminar juga telah mendengar kisah tentang topi Max, sebuah topi fedora yang lusuh, yang ia pakai sepanjang hari, yang hanya ia lepas saat tidur. Di tengah perkenalan Kenneth terhadap dunia mengedit, tiba-tiba sosok Max muncul di depan toko buku di jalan 43rdStreet. Tanpa banyak bicara, Max memasuki ruangan. Kenneth mengangkat wajahnya, menangkap kehadiran Max di pintu, dan segera menyambut figur legendaris itu. Seisi ruangan menahan napas mengantisipasi keberadaan editor ternama di antara mereka. Max berusia 61 tahun, dengan tubuh jangkung setinggi 174 cm, dan berat badan tak lebih dari 70 kg. Payung yang ia gunakan tampak tak berfungsi—memasuki ruangan, tubuh Max basah kuyup, dan topi yang ia kenakan jatuh layu di sekitar telinganya. Wajah Max yang lonjong menunjukkan bias warna semu merah muda, membuatnya tampak lebih lembut dari biasa. Kontur wajah Max memang sangat ke-Eropaan, dengan sudut-sudut tajam nan tegas: hidungnya mancung dengan ujung elok, seperti paruh unggas. Sementara matanya berwarna biru pastel. Thomas Wolfe pernah menggambarkan mata Max sebagai tempat yang “sarat akan cahaya berkabut, seperti udara laut yang membumbung di kejauhan—sepasang mata milik seorang pelaut asal New England yang berlayar selama berbulan-bulan menuju Cina di atas rakit, seolah tengah meratapi seseorang atau sesuatu yang telah hilang dan tenggelam.” Max menanggalkan jas overcoat yang basah oleh air hujan, menampakkan satu setel pakaian kerja yang ia kenakan di bawahnya. Pakaiannya bernuansa putih-abu, berlapis tiga (kemeja, rompi, jas) dan tak disetrika. Lalu, ia melirik ke atas, seolah teringat akan sesuatu, dan buru-buru melepas topinya, menunjukkan kepala yang dipenuhi rambut berwarna abu-abu metalik, disisir ke belakang sehingga membentuk huruf V di tengah dahi. Max tidak perduli akan kesan yang ia berikan kepada para hadirin, apalagi karena dia datang malam ini dengan penampilan seorang salesman asal Vermont yang terjebak di tengah kemelut hujan badai. Mengambil tempat di muka ruangan, Max tampak kebingungan, terlebih karena Kenneth memperkenalkannya ke semua hadirin sebagai “kepala dari semua editor di Amerika Serikat.” Sebelumnya, Max tidak pernah membuka diri untuk berbicara di depan orang banyak. Setiap tahun, ia menerima surat undangan untuk berbicara di depan umum, namun setiap tahun juga ia tolak undangan tersebut. Alasan pertama, pendengarannya sudah tidak begitu baik, maka itu ia condong menghindari kegiatan-kegiatan berkelompok. Alasan ke-dua, Max percaya bahwa peran seorang editor ada di belakang layar—apabila pihak publik merasakan kehadiran mereka, maka para pembaca akan hilang kepercayaan terhadap para penulis, yang mengakibatkan para penulis hilang kepercayaan diri. Lebih dari itu, Max tak ingin mendiskusikan kariernya—setidaknya sampai ia menerima undangan dari Kenneth. Seorang editor supel yang sangat populer, Kenneth juga menerapkan prinsip ‘belakang layar’ dalam pekerjaannya, dan hal ini membuat undangan-nya sulit ditolak oleh Max. Atau mungkin Max mulai menyadari bahwa di usianya yang sudah melewati 60, alangkah baiknya bila dia bisa menyalurkan ilmunya ke orang lain sebelum terlambat. Mengaitkan kedua jempol pada saku jas yang ia kenakan, dan mengangkat suaranya yang agak serak namun berat, Max memulai sesi diskusi. “Hal pertama yang harus kalian ingat,” katanya, tanpa secara langsung menatap para hadirin: “Seorang editor tidak menambah-nambahkan isi buku. Peran terbesar seorang editor adalah membantu penulis-nya. Jangan pernah merasa bahwa peran seorang editor itu teramat penting, karena apa yang kita lakukan adalah melepaskan sebuah energi. Tapi kita tetap tidak menciptakan apa-apa.” Max mengakui bahwa, dalam kariernya, ia pernah mengusulkan beberapa ide buku kepada para penulis yang tak tahu hendak menulis apa saat itu. Namun karya-karya tersebut biasanya berkualitas standar, walau terkadang meraup keuntungan finansial yang signifikan dan menjadi juara di antara para kritikus. “Karya terbaik seorang penulis,” ujar Max, “harus datang dari dirinya sendiri.” Ia juga memperingati audiens-nya agar tidak menyelipkan sudut pandang mereka ke dalam karya seorang penulis, atau mencoba untuk mengubah si penulis menjadi sosok yang berbeda. “Prosesnya sederhana,” lanjut Max. “Kalau kalian berhadapan dengan Mark Twain, jangan mengubah dia jadi Shakespeare, dan sebaliknya. Pada akhirnya, seorang editor hanya bisa mengeluarkan potensi seorang penulis sesuai dengan apa yang dimiliki si penulis.” Max berbicara dengan hati-hati, suaranya bergema pelan, seolah ia tak mengenali suaranya sendiri. Pertama-tama, para hadirin seminar harus berusaha keras untuk mendengarnya, tapi setelah beberapa saat, di tengah kesunyian, setiap suku kata yang diutarakan Max bisa terdengar hingga ke ujung ruangan. Mereka duduk menyerapi ‘wejangan’ sang editor tentang tantangan-tantangan besar yang beliau hadapi semasa kerja—dan pencariannya akan “sebuah karya nyata”. Begitu Max selesai menghantarkan kata pembuka, Kenneth memulai sesi tanya-jawab. Pertanyaan pertama, “Apa rasanya bekerja dengan F. Scott Fitzgerald?” Seutas senyum rapuh melintas di wajah Max. Ia memikirkan jawabannya untuk sesaat, lalu berkata, “Scott adalah seorang gentleman. Kadang dia butuh dukungan ekstra—dan kesabaran—namun tulisannya begitu kaya dan berwarna.” Max bercerita bahwa dibandingkan penulis lain, Scott cukup mudah ditangani dari segi pengeditan karena dia adalah seorang perfeksionis yang selalu mendorong dirinya sendiri untuk menghasilkan karya sempurna. Namun, terlepas dari itu, tambah Max, “Scott sangat sensitif terhadap kritikan. Ia bisa menerima kritikan, tapi sebagai seorang editor saya harus yakin akan setiap hal yang saya usulkan kepadanya.” Setelah itu, diskusi kelas beralih pada pribadi Ernest Hemingway. Max berkata bahwa di awal kariernya, Ernest membutuhkan banyak dorongan, dan lebih banyak lagi di masa-masa selanjutnya, “karena tulisan dan hidup Ernest memiliki kualitas petualangan yang sangat intens.” Max yakin bahwa nilai yang dijunjung tinggi oleh para protagonis karya-karya Ernest tertera jelas dalam tulisannya, mencakupi tema “manusia yang berlaku mulia saat dihadapi pilihan sulit.” Tapi Ernest juga sangat rentan terhadap karyanya. “Suatu kali, Ernest pernah mengeluh bahwa ia telah merevisi beberapa bagian dari A Farewell To Arms sebanyak 50 kali,” kata Max. “Sebelum seorang penulis menghancurkan kualitas alami dari tulisannya sendiri—itulah saat yang tepat bagi seorang editor untuk maju. Tapi tidak semenit pun sebelum itu.” Max lantas berbagi cerita tentang kerjasamanya dengan pengarang-pengarang lain, seperti Erskine Caldwell, termasuk sejumlah novelis wanita yang ia bimbing, seperti Taylor Caldwell, Marcia Davenport, dan Marjorie Kinnan Rawlings. Menjelang akhir acara, seolah menanti saat yang tepat, muncul pertanyaan tentang Alm. Thomas Wolfe, yang di penghujung ajalnya menyesali keretakan yang terjadi pada hubungannya dengan Max Perkins. Sebagian besar pertanyaan yang diluncurkan kepada Max hingga sesi tanya-jawab selesai terkait dengan Thomas Wolfe, seorang penulis yang notabene menguras tenaganya habis-habisan. Selama bertahun-tahun, gosip tentang hubungan Max dan Thomas diulas di berbagai media, di mana Max dituduh memiliki keterlibatan langsung dengan penulisan novel-novel Thomas Wolfe. “Tom adalah seorang penulis dengan bakat luar biasa, bahkan jenius,” ujar Max. “Bakat seperti itu, bagaimana dia memandang negaranya sendiri, terlalu besar untuk dirangkum dalam sebuah buku atau satu masa kehidupan. Tak ada medium yang cukup besar untuk menampung semua yang hendak ia tulis.” Saat Thomas mengolah dunianya ke dalam bentuk fiksi, Max merasa tugas utamanya sebagai seorang editor adalah untuk menciptakan batasan-batasan—baik itu dari segi panjang naskah maupun format tulisan. Max menambahkan, “Batasan-batasan tersebut adalah hal-hal praktis yang menjadi obsesi Thomas.” “Tapi apakah dia menerima usulan Anda?” tanya salah seorang hadirin. Max tertawa untuk pertama kalinya malam itu. Ia mengisahkan suatu episode di mana ia mencoba untuk membujuk Thomas agar mau mencabut satu bagian besar dari naskah Of Time and the River. “Saat itu malam musim panas,” ujarnya. “Udara sangat panas, dan waktu sudah amat larut—namun kami masih bekerja di kantor Charles Scribner’s Sons. Saya meletakkan tas saya di dekatnya, lalu saya duduk dalam kesunyian, membaca naskahnya.” Max tahu bahwa pada akhirnya Thomas takkan keberatan menghapus bagian besar dari naskah tersebut, terutama karena alasan yang diberikan Max memang tepat. Tapi Thomas takkan menyerah segampang itu. Berlaku seperti anak kecil, Thomas menengadahkan kepalanya dan memutar kursi duduknya, matanya mengamati ruang kerja Max yang nyaris tak berperabot. “Saya terus membaca selama kurang dari 15 menit,” lanjut Max, “dan saya sadar akan gerak-gerik Tom—sadar bahwa dia menatapi salah satu sudut ruang kerja saya dengan pandangan curiga, serius. Di sudut itu tergantung topi dan jas overcoat saya, dan di bawah topi, terselempang di pundak jas overcoat, adalah suvenir berbentuk kulit ular berbisa dengan tujuh simpul.” Suvenir itu merupakan hadiah dari Marjorie Kinnan Rawlings. Max menoleh ke arah Tom, yang masih menatapi topi, jas overcoat, dan si ular berbisa. “Aha!” seru Tom. “Sosok seorang editor!” Setelah puas menggoda Max, Thomas setuju menghapus bagian besar dari naskahnya. Beberapa pertanyaan dari calon-calon penerbit dalam ruangan itu harus diulang berkali-kali karena Max sulit mendengar suara mereka. Bahkan dalam jawabannya, Max banyak terdiam di tengah-tengah kalimat. Ia berusaha menjawab setiap pertanyaan dengan seelegan mungkin, namun ia seolah tersedot ke dalam masa lalu yang justru menjeratnya dalam kebingungan. “Saat itu, Max seakan hilang di dunianya sendiri,” ujar Kenneth, bertahun-tahun kemudian. “Beliau masuk ke dalam ruang pikirannya, masa lalunya, dan menutup pintunya rapat-rapat.” Secara keseluruhan, penampilan Max dalam acara tersebut menjadi bahan pembicaraan banyak orang untuk waktu yang lama. Dan seisi kelas tambah mengaguminya. Seorang warga kota yang beberapa saat sebelumnya bertarung dengan hujan mendadak bertransformasi menjadi sosok legendaris yang memenuhi imajinasi para audiens-nya. Acara diakhiri sekitar pukul sembilan malam, meski masih banyak pertanyaan mengantri, namun Kenneth tidak ingin Max ketinggalan kereta. Rasanya apabila acara itu berlanjut hingga tengah malam pun tak ada yang keberatan untuk terus duduk di sana, mendengarkan celotehan sang legenda. Max bahkan belum sempat bercerita tentang pengalamannya bekerja dengan para novelis seperti Sherwood Anderson, J.P. Marquand, Morley Callaghan, Hamilton Basso; dan dia juga belum sempat mendiskusikan para penulis biografi seperti Douglas Southall Freeman, Edmund Wilsun, Allen Tate, Alice Roosevelt Longworth, atau Nancy Hale. Namun waktu sudah habis, tak tersisa jua untuk mengekspresikan kebanggaannya bekerja dengan Joseph Stanley Pennell, penulis novel bertajuk Rome Hanks, yang menurut Max adalah salah satu novel paling menarik yang pernah ia edit. Tak ada waktu untuk mendaftarkan nama-nama para penulis baru—Alan Paton dan James Jones, misalnya, dua penulis berpotensi besar yang naskahnya sedang ia edit. Namun, dari pihak Max sendiri, ia merasa sudah berbicara lebih dari cukup. Max mengambil topi dan meletakkannya di atas kepala, lalu sambil mengenakan jas overcoat-nya, ia berputar memunggungi para hadirin yang tengah berdiri dan menepuki penampilannya dengan antusias. Tanpa basa-basi panjang, Max pun meninggalkan pengagumnya. Di luar, hujan masih mengguyur. Di bawah payungnya yang berwarna hitam, Max melangkah menuju Grand Central Station. Jantungnya berdebar hebat: seumur-umur, ia tidak pernah mendiskusikan hidupnya sedetail ini di depan publik. Tiba di kediaman keluarga Perkins di New Canaan, Connecticut, malam telah larut. Max menemukan putri sulungnya sedang menunggu kedatangannya. Putrinya melihat kelelahan yang menggantung di tubuh Max serta rasa sedih yang mendera. Ia bertanya kepada sang ayah apa yang membuatnya begitu lesu. “Malam ini aku datang ke sebuah acara seminar dan mereka memanggilku ‘kepala dari semua editor di Amerika Serikat’,” jelas Max. “Saat mereka mengenalimu sebagai ‘kepala’ sesuatu, itu berarti tugasmu sudah selesai.” “Duh, Yah: aku yakin maksud mereka bukan itu,” protes putri sulungnya. “Mereka hanya bermaksud untuk mengakui Ayah sebagai editor terbaik.” “Tidak,” kata Max, datar. “Itu artinya tugasku sudah selesai.” Hari itu tanggal 26 Maret. Di hari yang sama, 26 tahun lalu, hidup Max Perkins berubah untuk selamanya—dimulai dengan terbitnya buku yang dianggap sebagai cikal-bakal sastra modern, dan masih banyak lagi. Hak Cipta © 2012. Fiksi Lotus dan A. Scott Berg. Tidak untuk ditukar, dijual ataupun digandakan. ———————– # CATATAN: > Max Perkins: Editor of Genius ditulis oleh A. Scott Berg dan diterbitkan pada tahun 1978 (Riverhead Books, A Division ofRandom House). Buku ini dimulai sebagai tesis kuliah Scott, yang kemudian ia kembangkan menjadi buku biografi. Sampai hari ini, ini adalah satu-satunya buku yang dianggap paling akurat dalam merangkum ‘kisah balik layar’ proses penulisan tiga penulis legendaris asal Amerika Serikat: F. Scott Fitzgerald, Ernest Hemingway, dan Thomas Wolfe. >> A. SCOTT BERG merupakan seorang penulis biografi dan jurnalis lulusan Princeton University yang pernah dianugerahi penghargaan Pulitzer. Tiga buku biografi karyanya yang telah mendulang banyak pujian di antaranya: Max Perkins: Editor of Genius (Max Perkins, 1978), Lindbergh (Charles Lindbergh, 1998), dan Kate Remembered (Katharine Hepburn, 2003). Saat buku biografi Max Perkins diterbitkan, usia Scott baru 29 tahun. Leia Mais