Always Listening Not Always Understanding

Setiap orang tua pasti ingin masa depan anaknya terjamin dengan baik. Banyak cara yang dilakukan mulai dari menabung, investasi tanah, reksa dana, atau pun asuransi yang menawarkan proteksi sekaligus investasi. Sebagaimana orang tua yang lain, saya pun demikian. Sebulan yang lalu saya didatangi oleh seorang tetangga yang ternyata agen salah satu perusahaan asuransi besar. Dalam ‘silaturahmi’ tersebut dia menawarkan program asuransi. Pada mulanya saya tidak tertarik dengan tawaran tersebut. Selain saya telah dijamin oleh asuransi dari kantor, saya memiliki pengalaman dua kali SPAJ (Surat Pengajuan Asuransi Jiwa) saya ditolak. Penolakan SPAJ tersebut didasarkan pada catatan Laporan Pemeriksaan Kesehatan yang dikeluarkan oleh Laboratorium Klinik Prodia. Berfikir tentang masa depan Ayesha putri kami, saya kemudian meminta tetangga saya tersebut untuk dibuatkan SPAJ atas nama saya sebagai pemegang polis asuransi dan Ayesha sebagai tertanggung utama.

Dua hari berikutnya, tetangga saya datang lagi dan memberitahu bahwa besok saya akan diajak ke Laboratorium Klinik untuk melakukan pemeriksaan kesehatan. Setelah menunggu dua minggu tetangga saya yang juga agen asuransi tersebut bersilaturahmi ke rumah saya sambil membawa surat dari perusahaan asuransinya. Surat tersebut menyatakan bahwa berdasarkan pada hasil pemeriksaan maka saya dimasukan dalam kategori sebagai Pertanggungan Substandard. Pertanggungan Substandard artinya dikarenakan berdasar hasil pemeriksaan kesehatan yang menyatakan kondisi saya sebagai penyandang cacat, maka saya dikenakan pengecualian dan/atau ekstra premi.

Sebagai konsekuensinya maka semua benefit yang akan diterima oleh Ayesha sebagai tertanggung utama akan dikurangi, atau pilihannya saya harus membayar premi lebih besar jika menginginkan benefit yang akan diterima Ayesha tetap. Satu hal yang saya pandang cukup diskriminatif adalah ketentuan yang menyatakan bahwa apabila pemegang polis, dalam hal ini saya, mengalami cacat tetap atau meninggal, maka pembayaran premi tidak dapat diteruskan oleh perusahaan asuransi. Padahal untuk pemegang polis yang non-disabilitas berlaku ketentuan apabila pemegang polis tersebut mengalami cacat tetap atau meninggal maka perusahaan asuransi akan melanjutkan pembayaran premi hingga jangka waktu berlakunya polis.

Selanjutnya terjadilah dialog antara saya (CF) dengan tetangga saya yang Agen Asuransi (AA) sebagai berikut:

CF : mengapa bisa terjadi demikian mas?

AA: ya karena bagi kami kondisi fisik mas Fuad ini dikategorikan beresiko tinggi.

CF : beresiko tinggi bagaimana mas?

AA : ya mungkin kondisi mas Fuad ini bisa menyebabkan kondisi yang lebih parah, misalkan sakit yang parah atau kecelakaan.

CF : mas kan sudah baca hasil pemeriksaan laboratorium, tidak ada catatan di hasil pemeriksaan terbut yang menyatakan saya mengidap kangker, penyakit paru-paru, diabetes, strok, atau penyakit berat lainnya. Saya hanya mengalami kesulitan mobilitas bukan sakit. Kondisi fisik saya ini tidak akan menular dan tidak bisa menjadi lebih parah. Masa kritis saya sudah terlewat 37 tahun yang lalu di saat saya mengalami panas tinggi. Kalau bicara soal resiko kecelakaan, mas bisa baca dan lihat berita berapa banyak kecelakaan lalu lintas yang terjadi selama ini, apakah mereka itu orang-orang seperti saya?

Saya lihat agen asuransi yang juga tetangga saya itu terus terdiam…

Kemudian saya melanjutkan;

CF : mas Ayesha anak saya dulu lahir, dia tidak tahu bahwa dia akan terlahir menjadi anaknya seorang penyandang disabilitas (cacat). Apakah hanya karena Ayesha memiliki ayah penyandang disabilitas maka dia harus dibedakan (mendapatkan manfaat yang lebih kecil) dari anak-anak lainnya? Saya menyayangi anak saya sebagaimana anda menyayangi anak anda. Karena itu saya ingin memproteksi masa depan anak saya. Logikanya orang-orang seperti saya (penyandang disabilitas) dan keluarganya ini hidup sebagai kelompok rentan atau beresiko tinggi, karena itu mestinya harus mendapatkan perlindungan yang ekstra bukannya justeru dikurangi. Bukan malah mereka yang sudah berlebih justeru mendapatkan jaminan yang berlimpah.

AA : kalau begitu saya akan buatkan skema yang baru mas Fuad.

CF : bagaimana skemanya?

AA : mas Fuad hanya sebagai pemegang polis, sementara Ayesha menjadi tertanggung utama dan isteri mas Fuad sebagai tertanggung kedua. Besarnya premi dan benefitnya tetap mas.

CF : apakah kalau saya meninggal, pembayaran premi akan tetap dibayarkan oleh perusahaan asuransi?

AA : nah itu tidak mas

CF : ya kalau begitu sama saja, kalau suatu saat saya meninggal berarti isteri saya harus meneruskan pembayaran premi. Padahal saya adalah sumber pendapatan tunggal keluarga. Kalau begitu namanya bukan asuransi, mending saya saya beli kambing atau sapi yang bisa saya ternak untuk masa depan anak isteri saya jika suatu saat nanti saya meninggal.

AA : tapi asuransi penting lho mas Fuad, jika suatu saat nanti anak dan isteri mas sakit, mas Fuad tidak perlu keluarkan biaya banyak. Dengan asuransi mas Fuad cukup mengeluarkan biaya sedikit dan semua biaya kesehatan anak dan isteri terjamin dan lagi akan menjadi tabungan kelak.—agen itu berusaha terus merayu saya—

CF : ini bukan soal besarnya uang mas, tapi soal karena saya dinyatakan cacat maka saya diperlakukan berbeda dari yang lain. Karena hak saya dikurangi. Apakah mas bersedia membantu saya memfasilitasi saya untuk bertemu dengan manager anda?

AA : paling jawaban manager saya juga sama mas, karena memang aturannya begitu.

CF : Ok kalau begitu saya tidak bersedia tanda tangan surat underwriting ini.

Tamu saya itu kemudian pamit tentunya dengan wajah kecewa.

Saya tidak tahu apakah semua perusahaan asuransi memperlakukan penyandang disabilitas seperti ini? Dan apakah ini hanya berlaku di Indonesia ataukah di seluruh dunia?

Setahu saya pada peraturan asuransi ada yang namanya ADD atau Accidental, Death and Dismemberment. Nah ADD ini ditempelkan pada produk asuransi, agar pada saat pembayar premi mengalami kehilangan anggota tubuh, kehilangan fungsi anggota tubuh sehingga tidak bisa produktif menghasilkan uang, atau meninggal maka polis berlanjut dan benefit untuk penerima manfaat juga bisa berlanjut.

Memang ketentuan semacam ini bagi orang awam seperti saya akan sangat membingungkan. Pada dasarnya ADD itu bukan membayar anggota tubuh yang hilang, tapi menggantikan produktifitas yang hilang. Jadi artinya kalau kaki kiri saya yang disabilitas tapi masih bisa menginjak gas mobil untuk ke kantor, maka kaki saya tersebut masih punya nilai produktifitas. Sebenarnya falsafah dasar asuransi jiwa adalah melindungi pruduktifitas seseorang, bukan membayar ganti rugi kehilangan nyawa atau anggota tubuh.

Jadi memang benar saya adalah penyandang disabilitas, namun saya masih produktif dan bisa bekerja untuk mendapatkan penghasilan untuk keluarga. Namun, mengapa saya harus dibedakan dengan orang lain hanya karena bentuk kaki saya berbeda? Tentu ini sebuah ketidak adilan, sebuah ketidak adilan bagi kelompok minoritas yang memiliki kondisi fisik berbeda.

Lihat Catatan Selengkapnya Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Lihat Semua Komentar (2)