BAB II KAJIAN PUSTAKA Posisi Kesetimbangan Dalam Keadaan Statis Atau Dinamis Dengan Menggunakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Keseimbangan Berdiri 2.1.1

Pengertian Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan tubuh dalam

posisi kesetimbangan dalam keadaan statis atau dinamis, dengan menggunakan aktivitas otot yang minimal. Gangguan keseimbangan pada stroke berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mengatur perpindahan berat badan dan kemampuan gerak otot yang menurun sehingga keseimbangan tubuh menurun. Pasien stroke berusaha membentuk gerakan kompensasi untuk gangguan kontrol postur mereka (Darmawan, 2014). Keseimbangan berdiri adalah kemampuan untuk mempertahankan pusat massa tubuh berada dalam Base of Support/ Bidang Tumpu. Keseimbangan berdiri merupakan prasyarat untuk banyak aktivitas fungsional seperti mobilitas dan penghindaran terhadap jatuh (Sibley et al., 2015). Gangguan keseimbangan terutama saat berdiri tegak merupakan akibat stroke yang paling mempengaruhi aktivitas. Hilangnya fungsi sensorik dan motorik, kelemahan otot, penurunan fleksibilitas jaringan lunak mengakibatkan gangguan keseimbangan fungsi yang hilang akibat gangguan kontrol motorik pada pasien pascastroke mengakibatkan hilangnya koordinasi dan hilangnya merasakan kemampuan untuk mempertahankan posisi tertentu (Darmawan, 2014). .1.2 Single Limb Stance Test (SLST) Single Limb Stance Test adalah metode yang sederhana, mudah dan efektif untuk skrining gangguan keseimbangan pada populasi dewasa. Siklus berjalan membutuhkan dukungan berdiri satu kaki yang besar dalam mempertahankan pola berjalan yang normal. Ketika siklus dinamik terganggu, hilangnya keseimbangan dapat menyebabkan terjatuh. SLST mengukur stabilitas postural (keseimbangan berdiri). Realibilitas SLST baik karena mempunyai intraclass corellation coefficients (ICC). ICC rangenya 0,73-0,93. Pada tes ini pasien diinstruksikan berdiri dengan satu kaki tanpa penyangga. Pasien memulai tes dengan mata terbuka menghadap fokus ke depan (Lewis et al., 2006). 2.2 Fungsional Berjalan 2.2.1 Pengertian Istilah fungsional berjalan digunakan untuk mencerminkan flexible gait, yaitu berjalan dengan kemampuan memenuhi tuntutan tugas yang kompleks dan tuntutan lingkungan, baik pada indoors ataupun outdoors. Fungsional berjalan dapat pula didefinisikan sebagai berjalan di bawah kondisi dan lingkungan yang kompleks (Lord dan Rochester, 2007). Berjalan adalah cara yang paling mudah untuk melakukan perjalanan jarak dekat. Mobilitas sendi yang bebas dan kekuatan otot yang tepat meningkatkan efisiensi jalan. Ketika tubuh bergerak ke arah depan, satu kaki secara khusus menyangga sedangkan kaki lainnya maju dan mempersiapkan untuk menyangga ekstremitas (Bogey, 2014).

11

Righting reaction yaitu untuk memelihara dan mempertahankan posisi normal kepala yang berhubungan trunk dengan menormalkan alignment trunk dan limbs sedangkan equilibrium reaction memelihara keseimbangan pada waktu aktivitas terutama pada saat melawan gravitasi dan akan banyak membutuhkan kontrol inhibisi pada level tinggi untuk timbal balik dari bagian perubahan pola gerakan (Irfan, 2010) 2.2.2

Siklus Berjalan (Gait Cycle) Berjalan dikenal ada 2 fase, yaitu fase menapak (stance phase) dan fase

mengayun (swing fase). Ada pula yang menambahkan satu fase lagi yaitu fase dua kaki di lantai (double support) yang berlangsung singkat. Fase double support ini akan semakin singkat jika kecepatan jalan bertambah, bahkan pada berlari fase double support ini sama sekali hilang, dan justru terjadi fase di mana ke dua kaki tidak menginjak lantai (Irfan, 2010) Fase menapak (60%) dimulai dari heel strike/heel on, foot flat, mid stance, heel off dan diakhiri dengan toe off. Sedangkan pada fase mengayun (40%) dimulai dari toe off, swing dan diakhiri dengan heel strike (accelerasi, mid swing, decelerasi).

12

Gambar 2.1. Skema fase berjalan Sumber: Irfan, 2010 Gambar 2.1 menunjukkan bahwa pada aktivitas jalan, maka periode di mana tubuh ditopang oleh satu kaki lebih dominan dibandingkan dengan periode menapak pada dua kaki. Dengan demikian, maka kemampuan berjalan seseorang sangat ditentukan oleh kemampuan mempertahankan tubuh pada Base of Support (BOS) yang sempit yaitu pada area satu buah telapak kaki (Irfan, 2010). Menurut terminologi Rancho Los Amigos yang dikutip dari Irfan (2010) dalam berjalan dikenal ada 2 fase, yaitu: 1. Stance phase adalah fase menumpu, atau fase di mana bagian tubuh (kaki) bersentuhan dengan lantai. Stance phase memberikan stabilitas untuk gait cycle dan penting untuk swing phase yang benar. Pada fase ini terdapat beberapa tahapan. Tahapan-tahapan yang terjadi pada stance phase antara lain: a. Initial contact (interval: 0-2%) Fase ini merupakan momen ketika tumit menyentuh lantai. Initial contact merupakan awal dari fase stance dengan posisi heel rocker. Posisi sendi pada waktu mengakhiri gerakan ini, menentukan pola

13

loading response. Menyentuhnya tumit dengan lantai membuat bayangan yang mengindikasikan tungkai yang akan bergerak. Sedangkan tungkai yang lain berada pada akhir dari terminal stance. Fase ini merupakan momen seluruh centre of gravity (COG) berada pada tingkat terendah dan seseorang pada tingkat yang paling stabil. Pada periode ini anggota bawah yang lain juga menyentuh lantai sehingga terjadi posisi double stance. Pada fase ini sendi panggul membentuk sudut aproksimasi 30° fleksi dengan aktivasi otot gluteus maximus, hamstrings, adductor magnus. Pada sendi lutut membentuk ekstensi penuh atau relative 2-5ᵒ fleksi dengan aktivasi otot quadriceps untuk mengontrol sendi lutut. Pada sendi pergelangan kaki membentuk sudut netral 90° dengan mengaktivasi otot-otot pretibial (m. tibial anterior, m. ekstensor hallucis longus dan m. ekstensor digitorum longus) untuk mengontrol plantar fleksi. b. Loading response ( Interval: 0-10%) Fase ini merupakan periode initial double stance. Awal fase dilakukan dengan permulaan menyentuh lantai dan dilanjutkan sampai kaki yang lain mengangkat untuk mengayun. Berat tubuh berpindah ke depan pada tungkai. Dengan tumit seperti rocker, knee fleksi sebagai shock absorption. Saat heel rocker, ankle plantar fleksi dengan kaki depan menyentuh dengan lantai. Sedangkan tungkai yang berlawanan pada posisi fase pre-swing.

14

c. Midstance (Interval; 10-30%) Merupakan sebagian awal dari gerakan satu tungkai dalam mendukung interval. Untuk awalan gerakannya, kaki mengangkat dan dilanjutkan sampai berat tubuh berpindah pada kaki yang lain dengan lurus. Saat ankle dorsal fleksi (ankle rocker) bayangan tungkai mulai bergerak ke depan sementara knee dan hip ekstensi. Sedangkan tungkai yang berlawanan mulai bergerak menuju fase mid-swing. d. Terminal Stance (Interval: 30-50%) Pada fase ini satu tungkai memberikan bantuan. Fase ini dimulai dengan mengangkat tumit dan dilanjutkan sampai kaki menginjak lantai. Keseluruhan dari fase ini brat badan berpindah dari forefoot. Saat posisi ekstensi knee yang meningkat dan akan diikuti sedikit fleksi. Di mana posisi tungkai yang lain berada pada fase terminal swing. Pada awal fase ini centre of gravity berada di depan kaki yang menapak jadi tekanan gravitasi akan meningkatkan lingkup dari ekstensi hip dan dorsal fleksi ankle. e. Preswing (Interval: 50-60%) Pada akhir fase dari stance adalah interval gerakan ke dua double stance pada siklus berjalan. Dimulai dari initial contact pada anggota gerak bawah kontralateral dan diakhiri toe-off pada anggota grak ipsilateral, dengan meningkatnya ankle ke posisi plantar fleksi diikuti fleksi knee maka hip tidak lagi pada posisi ekstensi. Di saat yang sama

15

anggota gerak bawah yang lain pada fase loading response. Menyentuhnya anggota gerak atau tungkai kontralateral merupakan awal dari terminal double support. 2. Swing phase adalah periode waktu di mana tubuh (kaki) tidak bersentuhan dengan lantai, selama swing phase bagian tubuh yang berayun bergerak di depan bagian tubuh yang menapak sehingga gerakan ke depan dapat terjadi. Pada swing phase, tahapan-tahapan terdiri dari: a. Initial swing (Interval: 60-73%) Pada fase pertama adalah perkiraan satu sampai tiga dari periode mengayun. Diawali dengan mengangkat kaki dari lantai dan diakhiri ketika mengayun kaki sisi kontralateral dari kaki yang menumpu. Pada saat posisi initial swing hip bergerak fleksi dan knee naik menjadi fleksi dan ankle pada posisi setengah dorsal fleksi. Di saat yang sama sisi kontralateral bersiap pada mid stance. b. Mid swing (Interval: 73-87%) Pada fase ke dua dari periode swing dimulai, saat mengayun anggota gerak bawah yang berlawanan dari tungkai yang menumpu. Akhir dari fase ini ketika tungkai mengayun ke depan dan tibia vertikal atau lurus. Saat mid swing, hip fleksi dengan knee bergerak ekstensi untuk merespon gravitasi dan diikuti dengan ankle dorsi fleksi menuju posisi netral. Sedangkan tungkai yang lain berada pada akhir dari fase mid stance.

16

c. Terminal swing (Interval: %) Akhir dari fase swing dimulai dari tibia vertikal dan diakhiri saat kaki memijakkan lantai. Kedudukan tungkai yang baik adalah dengan posisi ekstensi knee dan hip

Gambar 2.2 Tahapan satu siklus berjalan Sumber: Tao et al., 2012 Gambar 2.2 diatas menjelaskan tentang tahapan satu siklus berjalan yang meliputi 2 fase. Fase pertama adalah Stance Phase yang terdiri dari: Initial Contact, Loading Response, Mid Stance dan Terminal Stance. Fase kedua adalah Swing Phase yang terdiri dari Pre-swing, Initial Swing, Mid Swing dan Terminal Swing. 2.3 Gait Cycle Measurement (GCM) 2.3.1 Pengertian Kemampuan berjalan dapat dievaluasi secara kualitatif atau kuantitatif dengan menggunakan uji laboratorium dan klinik. Banyak studi tentang perbaikan pola jalan hemiparetik menggunakan skala asesmen fungsional ordinal seperti Rivermead Mobility Index, Barthel Index, Functional Independence Measure, Functional Ambulation Categories, dan Time Up-and-Go Test. Berjalan dikategorikan menjadi 3-7 kategori berdasarkan jarak, waktu, dan perlunya bantuan (Yavuzer, 2006).

17

Metode Gait Cycle Measurement adalah metode pengukuran kemampuan fungsional berjalan dengan menganalisa: phases of gait cycle, step length, step period,stride length, cycle time, velocity, cadence, dan stride widht. 2.3.2 Evaluasi Data Terdapat empat faktor temporal dan distance yang dapat dievaluasi: Velocity:

Jarak total antara heel strikes awal dan akhir dibagi dengan waktu yang diperlukan menempuh jarak tersebut.

Stride Length:

Jarak di antara dua heel strike ipsilateral yang berurutan

Step Length:

Jarak di antara dua heel strike kontra lateral yang berurutan.

Stride Widht:

Jarak antara sisi kanan dan sisi kiri (walking base)

Cadance:

Jumlah langkah dalam satu rangkaian berjalan dibagi dengan waktu yang diperlukan dalam satu rangkaian jalan tersebut (Whittle, 2003) Tabel 2.1. Harga Rujukan Gait Cycle Measurement NO 1

Parameter Velocity

Males 1,5

Females 1,5

Satuan m/sec

2

Cadance steps/min

3

Step Length cm

4

Stride Length cm

5

Stride Width cm

Sumber: Whittle, 2003. Gait Analysis. An Introduction

Tabel 2.1 menggambarkan harga rujukan Gait Cycle Measurement yang meliputi Velocity 1,5 m/sec, Cadance 120 step/min Step Length untuk laki-laki 83 cm dan perempuan 73 cm, Stride Length 150 cm dan Stride Width 5 cm.

18

Tabel di bawah ini menggambarkan perbandingan hasil pengukuran parameter spatiotemporal pada subjek sehat dan pasien hemiplegi: Tabel 2.2 Parameter SpatioTemporal Pasien Hemiplegi dan Subjek Sehat

Sumber: Boudarham et al.,2013. PloS ONE 8(6); 1 Tabel ini membandingkan subjek sehat dan pasien hemiplegi dengan menggunakan pengukuran analisis gait kuantitatif yang meliputi velocity, step length, cadence, step width, stride length. Dari tabel ini dapat dilihat velocity pada subjek yang sehat 1,26 m/s sedangkan pada pasien hemiplegi 0,78 m/s. Cadence pada subjek sehat 114 langkah/min sedangkan pada pasien hemiplegi 91 langkah/min. Step length pada subjek sehat 0,65 m sedangkan pasien hemiplegi 0,5 m. Stride length pada subjek sehat 1,32 m sedangkan pasien hemiplegi 1,01 m. Step width pada subjek sehat 15,5 cm sedangkan pasien hemiplegi 19,3 cm. Kesimpulan dari tabel ini terjadi penurunan velocity, stride length, step length, cadence sedangkan untuk step width dan stride time meningkat. .4 Stroke 2.4.1 Pengertian Definisi stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal, atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular. Stroke atau serangan otak, suatu istilah klinis dari gangguan fungsi otak yang mendadak, terjadi bila berhenti atau gagalnya pasokan darah ke otak, atau dapat pula sebagai akibat pecahnya pembuluh darah di otak (Ranakusuma, 2004). Pada pasien stroke terjadi berbagai macam defisit pada persepsi, kekuatan otot, kontrol motorik, mobilitas pasif, sensasi, tonus, dan keseimbangan (Yavuzer, 2006). Rehabilitasi keseimbangan pada pasien hemiplegi berkembang buruk. Bukan hanya kegagalan kontrol motorik yang menyebabkan buruknya keseimbangan pascastroke. Kontrol keseimbangan meliputi integrasi beberapa tipe informasi sensorik. Beberapa peneliti berhipotesa bahwa terjadinya gangguan organisasi informasi sensorik mendasari representasi tubuh yang terdistorsi terhadap ruang. Hal ini tidak mendukung pemulihan keseimbangan (Bonan et al., 2004). Gait hemiparetik dicirikan dengan beberapa defisit spesifik, meliputi berkurangnya kecepatan jalan, meningkatnya variabilitas, dan langkah yang asimetri (Wright et al., 2013). Setelah stroke, rehabilitasi intensif dilakukan untuk mengurangi defisit dari kecepatan, efisiensi dan simetri dalam berjalan. Pemulihan simetri jalan penting dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan kecepatan jalan

20

serta untuk mengurangi resiko terjadinya jejas muskuloskeletal ekstremitas bawah dan hilangnya densitas mineral tulang pada kaki yang paresis (Lewek et al., 2012). Perbaikan pascastroke khususnya yang terjadi pada beberapa minggu awal setelah stroke mencerminkan perbaikan neurotransmission dalam jaringan dekat dan jauh dari infark atau hemoragik. Beberapa waktu setelah stroke, kemampuan kognitif, bahasa, ketrampilan motorik dapat meningkat dengan adanya proses serebral melalui pembelajaran umum. Neuroplastisitas yang diinduksi pengalaman meliputi eksitabilitas yang lebih besar dan pengerahan neuron-neuron pada kedua hemisfer otak yang berkontribusi terhadap kinerja, penyebaran dendrit yang berkomunikasi dengan neuron yang lain dan memperkuat koneksi sinaps (Dobkin, 2005). Telah dibuktikan bahwa untuk meningkatkan keterampilan motorik spesifik memerlukan latihan dengan tugas yang relevan pada pasien stroke. Latihan belajar berjalan tradisional meliputi berjalan dengan alat bantu berjalan esensial / orthosis yang dikombinasikan dengan petunjuk verbal dan manual. Perangkat rehabilitasi berjalan tambahan terdiri dari tanda visual/ visual cue, tugas kognitif bersamaan (contoh: dual tasks), feedback musical, dan/atau stimulasi elektrikal fungsional (Peurala et al., 2014). Usaha

terdahulu

untuk

meningkatkan

kemampuan

jalan

dengan

menghasilkan sinyal visual dan auditori buatan menghasilkan sistem open-loop yang mengadakan sinyal sensorik dihasilkan dari sumber eksternal, yang tidak

21

berpengaruh oleh gerakan pasien, seperti fixed-velocity (seperti treadmill), tanda visual atau tanda rhythmic auditory (Baram, 2013). 2.4.2 Klasifikasi Stroke Menurut Hartwig (2005), klasifikasi stroke berdasarkan penyebab antara lain : 1. Stroke Iskemik Hampir 80% sampai 85% stroke adalah stroke iskemik, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada satu sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan (thrombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal. Pada trombus vaskular distal, bekuan dapat terlepas atau mungkin terbentuk di dalam organ seperti jantung, dan kemudian dibawa melalui sistem arteri ke otak sebagai suatu embolus. Beberapa penyebab stroke iskemik antara lain: a. Trombosis 1) Aterosklerosis (tersering) 2) Vaskulitits: arteritis temporalis, poliarteritis nodusa 3) Robeknya arteri: karotis, vertebralis (spontan atau traumatik) 4) Gangguan darah: polisitemia, hemoglobinopati (penyakit sel sabit)

22

b. Embolisme 1) Sumber

di

jantung:

fibrilasi

atrium

(tersering),

infark

miokardium, penyakit jantung rematik, penyakit katup jantung, katup prostetik, kardiomiopati iskemik 2) Sumber tromboemboli arterosklerotik di arteri: bifurkasio karotis komunis, arteri vertebralis distal 3) Keadaan hiperkoagulasi: kontrasepsi oral, karsinoma c. Vasokonstriksi Vasospasme serebrum setelah Perdarahan Sub Arachnoid (PSA) 2. Stroke Hemoragik Stroke hemoragik merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua stroke. Stroke ini terjadi jika lesi vaskular intra serebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vaskular yang dapat menyebabkan perdarahan subaraknoid (PSA) adalah aneurisma vaskular (Berry) dan malformasi arteriovena (MAV). 2.4.3 Faktor Resiko Faktor resiko terjadinya stroke menurut Hadi-Martono (2006) antara lain: 1. Usia, yang merupakan faktor resiko independen terjadinya stroke 2. Hipertensi, baik sistolik maupun diastolik merupakan faktor resiko dominan untuk terjadinya baik hemoragik maupun non hemoragik 3. Diabetes melitus 4. Hiperlipidemia . Keadaaan hiperviskositas 6. Berbagai kelainan jantung, antara lain gangguan irama (fibrilasi atrium), infark miokard akut atau kronis, yang mengakibatkan hipoperfusi (dekompensasi jantung), infeksi yang disertai vegetasi (endokarditis bakterialis sub akut) dan tumor atrium 7. Koagulasi karena gangguan berbagai komponen darah, antara lain hiperfibrinogenemia, dan lain-lain 8. Faktor keturunan juga memegang peranan penting dalam epidemiolagi stroke 2.4.4 Gejala Klinis Menurut Ranakusuma (2004), manifestasi klinis serangan stroke dapat berupa: a) Baal, kelemahan atau kelumpuhan pada wajah, lengan, atau tungkai sesisi atau kedua sisi dari tubuh b) Penglihatan tiba-tiba kabur atau menurun c)

Gangguan bicara dan bahasa atau pengertian dalam komunikasi

d) Dizziness, gangguan keseimbangan, atau cenderung mudah terjatuh e) Kesulitan menelan f) Sakit kepala yang hebat secara tiba-tiba g) Delirium atau kesadaran berkabut (sudden cunfusion) .4.5 Neuroplasticity Studi yang terkini memperluas pemahaman kita tentang proses yang mendasari proses pemulihan fungsi motorik setelah stroke. Area motorik bilateral pada otak mengalami reorganisasi yang luas, meliputi perubahan kekuatan interaksi inhibisi interhemisfer. Pemahaman kita tentang bentuk reorganisasi yang berbeda-beda berkontribusi terhadap penguatan proses rehabilitasi, meskipun masih sangat terbatas, telah menunjukkan kita strategi intervensi untuk meningkatkan fungsi motorik (Webster et al., 2006). Setelah terjadi kerusakan iskemik pada area motorik otak, pasien mengalami beberapa derajat pemulihan spontan, meningkat, sejak ditemukan intervensi yang diterapkan pada periode akut pascastroke. Lebih dari 50% survival stroke pada stadium kronik mengalami defisit motorik permanen (Webster et al., 2006). Pengetahuan tentang plastisitas area korteks setelah stroke menunjukkan bahwa kerusakan korteks mempunyai potensi mengalami reorganisasi luas. Diantara mekanisme plastisitas neural yang mungkin mengkontribusi pemulihan fungsional adalah sprouting dendrite yang terus menerus, formasi sinaps baru, potensiasi jangka panjang dan depresi jangka panjang. Reorganisasi setelah stroke mungkin juga terjadi pada area korteks yang tidak rusak mengambil alih fungsi area otak yang terkena infark. Bentuk reorganisasi yang berbeda mengkontribusi pemulihan fungsi meliputi diaschisis, peri-infarct reorganization, aktivitas pada ipsilesional, atau pada hemisfer kontralesional, interaksi interhemisfer, dan reorganisasi yang didelegasikan (Webster et al., 2006).

25

Plastisitas otak (neuroplasticity) adalah kemampuan otak melakukan reorganisasi dalam bentuk adanya interkoneksi baru pada saraf. Plastisitas merupakan sifat yang menunjukkan kapasitas otak untuk berubah dan beradaptasi terhadap kebutuhan fungsional. Mekanisme ini termasuk perubahan kimia saraf (neurochemical), penerimaan saraf (neuroreceptive), perubahan struktur neuron saraf dan organisasi otak. Plastisitas juga terjadi pada proses perkembangan dan kematangan sistem saraf (Irfan, 2010). Plastisitas dapat tejadi pada level sinaps, level kortikal dan level sistem. Reorganisasi sistem saraf dapat terjadi dalam beberapa bentuk sebagai berikut: 1.

Diaschisis (neural shock) Merupakan suatu keadaan

hilangnya komunikasi antar neuron

bersifat sementara atau merupakan gangguan laten dari aktivitas neuronal di dekat area kerusakan. Hal ini dimungkinkan juga oleh karena menurunnya suplai darah pada neuron. 2.

Unmasking: Merupakan proses yang dapat terjadi antara lain: a.

Denervation supersensitivity

b.

Silent synapses recruitment Dalam aktivitas sehari-hari, banyak akson dan sinaps yang tidak

aktif atau belum terlibat dalam menghasilkan gerak. Apabila jalur utama mengalami kerusakan maka fungsinya akan digantikan oleh akson dan sinaps yang tidak aktif. Menurut Wall dan Kabat, jalur sinapsis mempunyai threshold yang sangat tinggi. Karena mempunyai

26

mekanisme

homeostatik.

Dimana

penurunan

masukan

akan

menyebabkan kenaikan eksibilitas sinapsnya (Irfan, 2010). 3.

Sprouting: a. Axonal regeneration b. Collateral sprouting Sifat plastisitas otak ini memiliki keuntungan dan kerugian dalam hal pemulihan kemampuan gerak dan fungsi pada insan stroke. Keuntungan yang dapat diperoleh dengan adanya sifat plastisitas yaitu dimungkinkannya untuk terus dikembangkan, sehingga dengan metode yang tepat akan menghasilkan pembentukan plastisitas yang tepat berupa pola gerak normal. Akan tetapi, dapat merugikan jika metode yang diterapkan

tidak tepat

karena dengan

sifat

plastisitasnya akan terbentuk pola gerak yang tidak normal sesuai dengan latihan yang diberikan (Irfan, 2010). 2.4.6 Pola Berjalan Pasien Stroke Pada pasien stroke terjadi

lesi pada batang otak atau hemisfer otak

sehingga terjadi tipe berjalan hemiparetik (gait hemiparetik) yaitu terjadinya spastik pada tungkai, ekstensi dan circumduction (pola jalan melingkar seperti kerucut) dan fleksi pada tangan. Berhubungan juga dengan terjadinya respon pada ekstensor plantar, kelemahan tungkai, tangan dan wajah serta terjadinya hiperrefleks (Salzman, 2010). Terdapat juga berbagai

macam defisit pada

persepsi, kekuatan otot, kontrol motorik, mobilitas pasif, sensasi, tonus, dan keseimbangan (Yavuzer, 2006).

27

Gait hemiparetik dicirikan dengan stiff-legged gait (berkurangnya lingkup gerak lutut) dan drop foot (berkurangnya dorsofleksi ankle selama mengayun) (Yavuzer, 2006). Gait hemiparetik dicirikan juga dengan beberapa defisit spesifik, meliputi berkurangnya kecepatan jalan, meningkatnya variabilitas, dan langkah yang asimetri (Wright et al., 2013). Asimetri terjadi pada parameter berjalan spatiotemporal, kinematik dan kinetik yang berhubungan dengan gangguan koordinasi motorik (Balasubramanian et al., 2007). 2.5

Visual Cue training ( VCT) Visual Cue Training (VCT) adalah pelatihan yang menggunakan isyarat

visual untuk meningkatkan kontrol gerakan selama berjalan dengan memfasilitasi pasien untuk memodifikasi panjang langkah berdasarkan informasi visual yang telah disediakan (Amatachaya et al., 2009). Visual memegang peranan penting dalam sistem sensorik. Keseimbangan akan terus berkembang sesuai umur, mata akan membantu agar tetap fokus pada titik utama untuk mempertahankan keseimbangan dan sebagai monitor tubuh selama melakukan gerakan statik atau dinamik. Penglihatan juga merupakan sumber utama informasi tentang lingkungan dan tempat kita berada, penglihatan memegang peran penting untuk mengidentifikasi dan mengatur jarak gerak sesuai lingkungan tempat kita berada. Penglihatan muncul ketika kita menerima sinar yang berasal dari objek sesuai jarak pandang (Irfan, 2010). Kenyataan

bahwa posisi spatial untuk posisi penempatan kaki yang

diperlukan adalah kunci untuk memahami mengapa adaptasi gait lebih efektif dalam respon terhadap visual stepping stones (Bank et al., 2011). Ketika kita

28

dapat melihat, terdapat penukaran akurasi kecepatan/speed accuracy trade- off, yaitu pada saat langkah cepat terjadi kesalahan yang lebih besar dan bervariasi dibandingkan langkah yang lambat (Reynolds dan Day, 2005). Pengaturan jalan adalah hal yang penting ketika berjalan pada medan yang rata ataupun yang tidak rata untuk memperoleh penempatan kaki yang adekuat sesuai dengan fitur lingkungan setempat seperti rintangan/obstacle dan target langkah/ stepping target (Houdjik et al., 2012). Pasien hemiplegi pascastroke memiliki kesulitan dalam menekan input visual yang tidak bisa diprediksi karena mereka sangat kesulitan mempertahankan keseimbangan ketika kehilangan visual. Pada kasus konflik visuovestibular, kesulitan tersebut semakin besar. Beberapa pasien membuktikan ketergantungan yang berlebihan pada input visual dan tidak dapat menggunakan input somatosensorik dan vestibular dengan benar (Bonan et al., 2004). Vision/ penglihatan memainkan peran penting pada semua strategi reaktif, prediktif dan antisipasi karena penglihatan menyediakan informasi spatiotemporal mengenai tempat terpencil yang sangat tepat (Higuchi, 2013). Isyarat visual dilakukan dengan menggunakan isyarat visual di atas lantai dengan step length yang diinginkan untuk membantu inisiasi dan pelaksanaan gait. Isyarat visual merangsang respon melangkah yang normal selanjutnya tanpa melihat isyarat tersebut, usaha volunter akan menjaga pasien tidak terjatuh. Isyarat eksternal mempunyai akses ke kontrol motorik dengan menghindari (bypass) basal ganglia-SMA loop untuk meningkatkan persiapan gerakan untuk masing-masing langkah dalam urutan Efek lain yang mungkin terjadi, isyarat

29

eksternal membuat langkah yang lebih panjang, juga memfokuskan perhatian pasien pada berjalan dengan kriteria step length tertentu. Strategi atensi inilah yang memungkinkan memfasilitasi pola berjalan yang lebih normal dengan meningkatkan pengaturan motorik sepanjang urutan berjalan (Morris et al., 1996) 2.6 Rhytmic Auditory Stimulation (RAS) Rhytmic

Auditory

Stimulation

(RAS)

adalah

pelatihan

yang

menggunakan efek fisiologis irama auditori pada sistem motorik untuk meningkatkan kontrol gerakan pada aktivitas fungsional, keseimbangan berdiri, dan pola jalan adaptif pada pasien dengan defisit gait signifikan yang disebabkan oleh kerusakan neurologis (Thaut et al., 1996). Berjalan merupakan sebuah tugas rumit yang diatur oleh kontrol hirarkis dari korteks motor primer, premotor dan korteks motor supplemental, ganglia basal, cerebellum, batang otak, generator dan umpan balik pola spinal dari sistem vestibular. Pengaruh isyarat sensorik ritmik dalam berjalan dinamik memiliki relevansi besar dalam rehabilitasi neurologi. Isyarat auditori memberikan efek positif terhadap variasi karakter jalan pada pasien dengan penyakit Parkinson, stroke, dan hemiparesis (Sejdic et al., 2012). Rhytmic Auditory Stimulation (RAS) adalah salah satu tipe terapi musik neurologikal yang menggunakan rangsangan sensorik ritmik. RAS mempengaruhi sistem kontrol motorik otak dan gerakan gait melalui isyarat waktu (timing cues), sehingga merubah parameter gait pada temporal. Pada pasien dengan gangguan neuromuskular

yang memiliki

kesulitan sehari-hari

(ADL) dikarenakan

30

menurunnya kemampuan sensorik dan motorik, dan yang memiliki feedback asimetri terhadap kontrol sensorimotor, aktivitas otak akan meningkat sebagai respon terhadap RAS, gerakan dari bagian tubuh yang paralisis menjadi lebih normal, dan pola aktivitas otak menjadi lebih halus, yang dapat dibuktikan dengan gambaran magnetic resonance imaging fungsional dan positron emission tomograhy (Jung et al., 2012). Kenyataan bahwa gerakan jasmani yang berirama sering berpasangan dengan rangsangan akustik eksternal, seperti metronom akustik dan musik, fenomena ini dikenal sebagai auditory-motor synchronization. Misalnya berdansa dengan musik, melibatkan sinkronisasi seluruh tubuh dengan alunan musik (beat) (Bood et al., 2013). Isyarat Akustik dapat meningkatkan gait dengan menciptakan stable coupling diantara langkah kaki dan alunan musik. Karakteristik berjalan seperti simetri dan irama/ jumlah langkah jalan (cadance) dapat ditargetkan dengan mengubah interval interbeats rangsangan akustik (Roerdink et al., 2007). Stimulasi auditori berupa suara alam (Seperti suara burung, ombak, dan lain-lain) disertai dengan latar belakang musik relaksasi dan meditasi. Stimulasi auditori dengan gelombang suara melalui nada auditori (auditory tones) dinilai lebih efektif, murah dan mudah digunakan. Terapi dengan menggunakan musik telah terbukti efektif dalam rehabilitasi pada pasien pascastroke (Esi dkk., 2012). Telah dilaporkan bahwa Rhythmic Auditory Stimulation dengan interval tetap antara

1-2 detik efektif untuk meningkatkan lokomosi pasien parkinson dan

stroke (Muto et al., 2013).

31

Elemen kunci RAS adalah fenomena penyelarasan auditori, yaitu kemampuan tubuh menyinkronkan gerakannya secara ritmis. Aktivitas auditori eksternal dimediasi oleh pembentukan persepsi internal dibawah sadar pada level subkortikal dan dapat menaikkan dan membangkitkan kepekaan neuron motorik spinal yang diperantarai oleh sirkuit auditory-motor pada level retikulospinal. Tubuh manusia adalah makhluk yang kreatif dan banyak akal. Komponen otak bervariasi yang tidak terhubung hanya dengan satu jalur, sehingga otak tidak berhenti bekerja total ketika satu bagian rusak atau cedera. Ketika satu bagian otak tidak berfungsi dengan baik, otak menemukan jalan kompensasi untuk fungsi yang disepakati. RAS digunakan untuk membantu meregulasi sistem kontrol motorik dengan menstimulasi fungsi otak lower level dari basal ganglia, cerebellum, batang otak, medulla spinalis untuk pasien Parkinson dan penyakit lainnya (Kwak, 2007). RAS adalah pilihan yang menjanjikan karena aplikasi irama dapat mengorganisasi gait seseorang dan meningkatkan pola berjalan. Latihan RAS menguntungkan karena tidak mempunyai efek samping dan lebih hemat biaya jika dibandingkan terapi yang lain, dan dapat digunakan bersama dengan modalitas terapi yang lain, atau terapi independen karena merupakan prosedur yang noninvasif (Kwak, 2007). 2.7.

Perbandingan VCT dan RAS dalam Penatalaksanaan Pasien

Pascastroke Berikut tabel perbandingan teknik penatalaksanaan VCT dan RAS pada pasien Stroke:

32

Tabel 2.4 Perbandingan VCT dan RAS dalam Penatalaksanaan Pasien stroke No

Visual Cue Training (VCT)

Rhythmic Auditory Stimulation (RAS)

1

Memberikan stimulasi pada Visual/Penglihatan

2

Menggunakan Strip pada Lantai sebagai Isyarat Visual

Menggunakan Irama sebagai Isyarat auditori

3

Penyesuaian Panjang langkah/Spatial Adjustment

Penyesuaian Tempo Langkah/Temporal Adjusment

Memberikan stimulasi pada Auditori/Pendengaran

Sumber : disadur dari Amatacaya (2009) dan Jung (2012) Tabel 2.4 menjelaskan perbedaan antara pelatihan VCT dengan RAS. VCT memberikan stimulasi pada visual, sedangkan RAS pada pendengaran. VCT menggunakan strip pada lantai, sedangkan RAS menggunakan irama. VCT menggunakan penyesuaian panjang langkah, sedangkan RAS penyesuaian tempo.

33