Palestina Damai Kiamat

“Kalo Palestina sampai damai, berarti kiamat dong.” “Kan sudah ada kan dalam Al-Qur’an, kalau Palestina damai ya berarti kiamat udah dekat.” Masjidil Aqsha di Yerusalem (Al Quds), Palestina Pernah mendengar dialog semacam ini? Baik teman maupun di internet, sedikit banyak pastilah ada yang menyatakan kurang lebih demikian, seolah-olah bisa dikatakan bahwa kedamaian Palestina merupakan salah satu tanda besar kiamat, atau bisa juga ditafsirkan kalau Palestina hanya bisa damai menjelang kiamat. Emang bener? Palestina dari Masa ke Masa Wilayah Palestina memang sudah menjadi incaran berbagai bangsa sejak dahulu kala. Tanah yang subur dan tempat yang strategis di persimpangan tiga benua (Asia, Afrika, Eropa) menjadikan wilayah ini sangat menarik bagi para penakluk dari tempat lain. Di sisi lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala–Maha Suci Dia & Maha Tinggi- sudah menyatakan bahwa daerah ini memang merupakan tanah yang diberkahi. Banyak Nabi yang diangkat, tinggal, dan berdakwah di sini, di antaranya Nabi Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, Dawud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa’, Zakariyya, Yahya, dan ‘Isa ‘alaihimus-salam. AllahSubhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Isra’ ayat pertama, “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” Namun begitu, wilayah ini juga menjadi ladang subur pembantaian dan diskriminasi saat pergantian kekuasaan. Di tempat ini pula, ratusan nabi dari Bani Isra-il terbunuh oleh tangan-tangan saudara mereka sendiri, Bani Isra-il yang kafir kepada Allah Ta’ala, maupun oleh penguasa Palestina saat itu. Salah satunya adalah pembunuhan Nabi Yahya ‘alaihis-salam, yang dilatarbelakangi penentangan beliau terhadap pernikahan Raja yang melanggar hukum Taurat. Nabi ‘Isa ‘alaihis-salam juga menjadi incaran pembunuhan oleh para petinggi agama Yahudi, walaupun rencana tersebut gagal. Palestina termasuk Yerusalem (Al Quds) menjadi incaran banyak bangsa sejak dahulu Pasca peristiwa tersebut, Paletina, khususnya di kota Yerusalem, terjadi berbagai peristiwa kerusuhan. Perang antara penguasa saat itu, Romawi Timur atau Byzantium, dengan umat Yahudi dimulai tahun tahun 132, yang dikenal dengan Revolusi Bar Khoba, berakhir dengan kemenangan Romawi dan dilarangnya umat Yahudi memasuki kota Yerusalem yang kemudian diubah namanya menjadi Aelia Capitolina. Pasca peristiwa tersebut, Romawi Timur kemudian membangun berbagai tempat suci Kristen di Yerusalem, seperti Gereja Makam Kudus yang diyakini umat Kristen sebagai tempat Yesus disalibkan. Namun kota ini berhasil direbut Kerajaan Sassanid Persia yang dibantu oleh umat Yahudi di tahun 614. Riwayat Byzantium memaparkan bahwa terjadi peristiwa pembantaian terhadap puluhan dan ratusan umat Kristen di kota Yerusalem kala itu. AllahTa’ala mengabarkan kepada umat Islam di Arab kala itu dalam awal Surah Ar-Rum bahwa kelak kerajaan Romawi Timur akan kembali menang. “Ramalan” yang terlihat mustahil itu jelas ditertawakan orang-orang musyrik Arab, mengingat Romawi Timur kala itu menghadapi berbagai tekanan dari segala penjuru. Namun nyatanya hal tersebut terbukti. Lima belas tahun pasca peristiwa tersebut, Romawi Timur merebut kembali Palestina termasuk kota Yerusalem di bawah pimpinan Heraklius. Palestina, Masa Kedamaian Lantas, apa benar kalau Palestina memang hanya bisa damai menjelang kiamat? Simak fakta berikut ini. Masa Pembebasan Pertama Umat Islam Umat Islam berhasil membebaskan Palestina pada tahun 638 di masa Khalifah kedua, ‘Umar ibn Khaththab radhiallahu-‘anhu, -semoga Allah meridhainya-. Berbeda dengan penaklukan sebelumnya yang sarat akan pembantaian dan intoleransi terhadap penduduk sebelumnya, umat Islam menawarkan perdamaian kepada umat Kristen di sana saat itu yang dipimpin Patriakh Kristen Monofisit Sophronius. Lebih jauh, bahkan saat Khalifah ‘Umar ditawari untuk shalat Dzuhur di Gereja Makam Kudus, beliau menolak dengan alasan keutuhan gereja di kemudian hari. Khalifah ‘Umar berkata, “Jika saya melaksanakan shalat di gereja ini, saya khawatir para pengikut saya yang tidak mengerti dan orang-orang yang datang ke sini di masa yang akan datang akan mengambil alih bangunan ini (Gereja Makam Kudus –red) kemudian mengubahnya menjadi masjid, hanya karena saya pernah shalat di dalamnya. Mereka akan menghancurkan tempat ibadah kalian. Untuk menghindari kesulitan ini dan supaya Gereja kalian tetap sebagaimana adanya, maka saya shalat di luar.” Bahkan pada perkembangannya, gereja paling sakral dalam Kristen ini memiliki juru kunci Muslim hingga tulisan ini dibuat. Hal ini untuk menghindari konflik antara sekte-sekte Kristen yang merasa paling memiliki gereja yang diyakini sebagai tempat tersalibnya Yesus tersebut. Masa Pembantaian dan Lahirnya Kedamaian Baru Setelah kurang lebih empat abad, Palestina harus kembali menyaksikan pembantaian berdarah. Di Perang Salib I pada tahun 1099, tentara Salib memenangkan pertempuran, memenuhi Masjidil Aqsha dengan mayat dan darah kaum Muslimin, membantai dan membakar umat Yahudi yang berlindung di sinagoga (tempat ibadah umat Yahudi), dan mendirikan Kerajaan Kristen Yerusalem selama 88 tahun di Palestina. Namun kota Yerusalem atau Al Quds berhasil direbut dari Kerajaan Kristen Yerusalem oleh kaum Muslimin yang dipimpin Shalahuddin Al Ayyubi pada tahun 1187. Di sisi lain, sama seperti pendahulunya, umat Islam saat berkuasa tetap menjaga rasa toleransi dengan umat lain sehingga umat Kristen dan Yahudi dapat hidup dan beribadah dengan tenang. Wilayah Palestina terus berada dalam kekuasaan kaum Muslimin hingga yang terakhir di bawah mandat kekhalifahan Turki Utsmani atau Ottoman hingga tahun 1917. Yerusalem menikmati periode pembaruan dan kedamaian dibawah kekuasaan khalifah Turki Utsmani, Suleiman I – termasuk pembangunan ulang tembok-tembok yang mengelilingi Kota Tua. Selama masa penguasa-penguasa Turki Utsmani, Yerusalem berstatus provinsi, jika dalam hal keagamaan kota ini menjadi pusat yang sangat penting, dan tidak menutup diri dari jalur perdagangan utama antara Damaskusdan Kairo. Orang-orang Muslim Turki melakukan banyak pembaharuan: sistem pos modern diterapkan oleh berbagai konsulat; penggunaan roda untuk mode transportasi; kereta pos dan kereta kuda, gerobak sorong dan pedati; dan lentera minyak, merupakan tanda-tanda awal modernisasi di dalam kota. Pada paruh abad ke-19, Turki Utsmani membangun jalan aspal pertama dari Jaffa hingga Yerusalem, dan pada 1892 jalur rel mulai mencapai kota. Dalam masalah agama, rasa toleransi dari penguasa Turki Utsmani diwujudkan dalam pengembangan sistem Millet (berasal dari Bahasa ‘Arabmillah), yang mana kelompok agama dan suku minoritas dapat mengurus masalah mereka sendiri tanpa intervensi dan kontrol yang banyak dari pemerintah pusat.Palestina dan Konflik Hingga Kini Sudah menjadi rahasia umum, sekarang Palestina kembali menyaksikan penjajahan di bawah bangsa Zionis Yahudi yang memproklamirkan negara Yahudi di tanah Palestina sejak 1948 silam. Berbagai upaya seolah hanya berbuah nihil guna mengembalikan perdamaian di Palestina. Namun dari sejarah, kita dapat berkaca, bahwa kedamaian di Palestina bisa terwujud, tanpa menunggu kelak ‘menjelang hari kiamat’, karena memang dalam Al Qur’an tak ada satu ayat pun yang menyatakan bahwa Palestina hanya bisa damai saat menjelang kiamat. Khalifah ‘Umar ibn Khaththab, Shalahuddin Al Ayyubi, dan ratusan tokoh muslim di generasi terdahulu sudah membuktikannya. Memang ada beberapa hadits yang menyatakan bahwa kelak saat menjelang kiamat, terjadi pertempuran besar antara umat Yahudi yang dipimpin Dajjal dan umat Islam yang dipimpin Imam Mahdi, yang berakhir kemenangan di pihak kaum muslimin. Namun ini bukanlah sebuah justifikasi bahwa Palestina hanya bisa damai lewat tangan Imam Mahdi saat menjelang kiamat. Tidak! Lebih jauh, bahkan yang tersurat dalam Al Qur’an adalah bahwa umat Islam diperintahkan untuk berusaha keras agar mencapai kemenangan, bukan dengan hanya menunggu sosok dari langit yang menuntaskan berbagai persoalan umat Islam dewasa ini. Ayat Al Qur’an dan Hadits yang menjelaskan kemenangan umat Islam di kemudian hari, harusnya tidak disikapi dengan hanya menunggu, tetapi dengan berusaha mewujudkannya semaksimal mungkin. Tentu usaha yang dilakukan dimulai dari hal yang kecil, seperti perbaikan akhlak diri sendiri dan orang di sekitar kita, menuntut ilmu setinggi mungkin hingga kelak menjadi sosok ilmuwan dan cendekiawan muslim yang taat pada Islam dan berguna bagi sesama, menghindari hal-hal yang tidak berguna, seperti tayangan dan kegiatan yang tidak membawa pada kesuksesan akhirat dan dunia, dan lain sebagainya. Kemenangan Islam bisa diraih dengan berusaha, bukan dengan menunggu “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka. ”{QS. Ar Ra’du (13): 11}