Televisi Digital Di Indonesia

Televisi digital terestrial di Indonesia dimulai pada tahun 2009, dan di sebagian besar wilayah beroperasi bersamaan dengan sistem TV analog. Pada awalnya, televisi terestrial digital di Indonesia menggunakan sistem DVB-T, namun kemudian berganti ke DVB-T2 dengan terbitnya Permenkominfo No. 5/2012.[1] Penghentian siaran analog secara nasional akan dimulai pada 30 April 2022.[2]

Sistem
Sejak tahun 2012, infrastruktur pendukung siaran televisi digital sudah mulai dibangun.[3] Proses pembangunan itu dimulai dari pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.[3] Saat ini proses pembangunan masih terus dilakukan guna mendapatkan siaran televisi digital yang merata.[3]

Standar penyiaran
Logo DVB-T2 yang umumnya muncul di televisi yang bisa menerima siaran digital maupun STB penerima siaran digital

Logo Siap Digital yang muncul pada perangkat penerima siaran digital (DVB-T2) di Indonesia sejak Pada tahun 2007, pemerintah menetapkan DVB-T sebagai standar penyiaran televisi digital terestrial.[4] Aturan yang berjudul “Standar Penyiaran Digital Terestrial untuk Televisi Tidak Bergerak” ini termuat dalam peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Sofyan Djalil, Nomor: 07/P/M.KOMINFO/3/2007 pada 21 Maret 2007.[4] Dalam Permen ini diatur bahwa teknologi untuk televisi tidak bergerak di Indonesia yaitu menggunakan standar Digital Video Broadcasting – Terrestrial (DVB-T) terhitung sejak tahun 2007.[4] Dalam ketetapan ini pula diatur tentang rencana induk frekuensi penyiaran digital terestrial, standarisasi perangkat penyiaran digital terestrial, dan jadwal proses pelaksanaan peralihan (migrasi) dari sistem penyiaran analog ke sistem penyiaran digital termasuk masa transisi penyelenggaraan penyiaran analog dan digital secara bersamaan (simulcast period).[4] Peraturan tentang lembaga penyiaran jasa televisi terestrial serta industri perdagangan yang berhubungan dengan pengalihan (migrasi) dari sistem penyiaran analog ke sistem penyiaran digital juga disebutkan dalam Permen ini.[4]

Namun ketetapan ini mengalami perubahan pada tahun 2012, sehingga standar penyiaran digital terestrial yang semula berstandar DVB-T diubah menjadi standar Digital Video Broadcasting Terrestrial – Second Generation (DVB-T2). Perubahan ini diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia No. 36/2012 tentang Persyaratan Teknis Alat dan Perangkat Pemancar Televisi Siaran Digital, yang dikeluarkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring pada 20 November 2012.[5][6] Perubahan ini terjadi dengan harapan mempercepat penyelesaian proses transisi siaran televisi analog ke digital.[6] Selain itu, DVB-T2 juga dianggap merupakan sistem yang lebih canggih daripada DVB-T.[7][8] Dengan DVB-T2, masyarakat dapat menikmati siaran tv digital secara gratis dengan gambar tajam, bening dan kualitas suara yang lebih jernih serta mempunyai kemampuan untuk memutar film dengan kualitas HD 1080p.[8] Selain itu, sebagian set-top box DVB-T2 dapat juga berfungsi sebagai pemutar media digital yang memberikan terobosan baru dengan berbagai macam dukungan format file seperti mendengarkan musik dan menonton film. Seiring dengan perubahan ini, pemerintah saat itu juga menganggarkan penyediaan set-top box (STB) 1 juta unit secara gratis ke masyarakat senilai Rp 300 miliar dari APBN 2013.[6]

Berdasarkan ketetapan yang diatur pemerintah dalam Persyaratan Teknis Alat dan Perangkat Pemancar Televisi Siaran Digital, setiap alat dan perangkat televisi siaran digital berbasis DVB-T2 yang dibuat, dirakit, dan dimasukkan untuk diperdagangkan di Wilayah Negara Indonesia wajib memenuhi persyaratan teknis sebagaimana tercantum dalam lampiran Permenkominfo No. 36/2012.[5] Untuk dapat memenuhi syarat, setiap perangkat DVB-T2 harus terlebih dahulu melaksanakan pengujian yang dilakukan oleh Balai Uji yang memiliki akreditasi dan telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika selaku Badan Penetap.[5]

Landasan peraturan yang menetapkan sistem DVB-T2 ini sendiri kemudian digantikan dengan Permenkominfo No. 4/2019 berjudul “Persyaratan Teknis Alat dan/atau Perangkat Telekomunikasi Untuk Keperluan Penyelenggaraan Televisi Siaran dan Radio Siaran”, dan Permenkominfo No. 6/2019 berjudul “Rencana Induk Frekuensi Radio Untuk Keperluan Penyelenggaraan Televisi Siaran Digital Terestrial Pada Pita Frekuensi Radio Ultra High Frequency”. Meskipun demikian, aturan baru tersebut (ditambah dengan aturan selanjutnya yang mengatur siaran digital seperti Peraturan Pemerintah No. 46/2021 dan turunannya seperti Permenkominfo No. 6/2021) tidak mengubah sistem penyiaran digital, sehingga DVB-T2 tetap berlaku sebagai sistem siaran digital nasional.[9][10]

Frekuensi dan saluran
Dengan adanya siaran digital, tidak seperti televisi analog, maka tidak semua stasiun televisi akan memiliki frekuensi/kanalnya sendiri. Secara resmi, dalam Permenkominfo No. 6/2021, para pemilik frekuensi/kanal digital dikenal dengan nama “Penyelenggara Multipleksing” (dahulu LPPPM/LP3M). Mereka inilah yang akan mengelola dan menyewakan kanal-kanal dalam siaran digital. Stasiun televisi yang tidak memiliki frekuensi dan akan menjadi penyewa saluran di kanal penyelenggara multipleksing (mux) dikenal dengan nama “Lembaga Penyiaran Layanan Program Siaran”, yang memiliki cakupan operasi secara regional (daerah).[11] Pengelola multipleksing terdiri dari dua jenis, yaitu langsung ditetapkan pemerintah (yaitu TVRI) dan hasil seleksi (dari televisi swasta). TVRI merupakan pengelola mux terbanyak sebesar 136 pemancar/frekuensi digital di seluruh daerah di Indonesia,[12] sedangkan televisi swasta umumnya memiliki frekuensi di berbagai daerah dengan jumlah yang lebih sedikit.

Setiap saluran yang mengisi mux digital, nantinya akan diberi nomor khusus dari pemerintah, atau dikenal dengan nama logical channel number (LCN). Mereka juga bisa menampilkan jadwal dan keterangan acaranya jika diperlukan lewat panduan program elektronik (electronic program guide, EPG). Saluran-saluran yang bersiaran digital dapat memancarkan siarannya secara standard definition (SD) atau high definition (HD). Selain televisi, sebenarnya stasiun radio juga dapat menyalurkan siarannya menggunakan metode ini,[13][14] walaupun sejauh ini potensi tersebut masih belum terlalu dimanfaatkan oleh perusahaan media maupun diatur oleh pemerintah. Selain fitur-fitur tersebut, televisi digital di masa mendatang juga diharapkan akan dilengkapi dengan aneka fitur lain, seperti sistem peringatan dini bencana (early warning system, EWS) dan pengaman anak (parental lock).[15][16]

Pengaturan kanal dalam siaran digital dilakukan oleh pemerintah. Dahulu, pada saat siaran digital masih di awal percobaan (2008), pemerintah sempat menyatakan bahwa akan menggunakan kanal UHF.[17] Namun, kemudian alokasi frekuensi tersebut diubah seiring waktu. Saat ini, menurut Permenkominfo No. 6/2019, siaran digital akan menggunakan frekuensi dari 478 MHz-694 MHz (kanal UHF). Kanal utama yang digunakan bagi mengirimkan siaran berada di UHF, sedangkan sisanya (22-26 UHF) untuk cadangan siaran digital di masa mendatang.[10] Dengan siaran digital, berarti kanal UHF (atau frekuensi 695,25-799,25 MHz) tidak dipergunakan lagi, sehingga sisa frekuensi ini dapat dimanfaatkan bagi kebutuhan lain, terutama di bidang telekomunikasi yang jika dimanfaatkan bisa memberi pemasukan bagi negara dan meningkatkan kualitas jaringan. Inilah yang disebut dengan dividen digital dari siaran televisi digital.[18]

Proses migrasi
Contoh pemberitahuan yang akan ditampilkan saat proses penghentian siaran analog di Indonesia. Namun, dalam ASO di Jabodetabek pada 2-3 November 2022, siaran analog menghilang begitu saja tanpa pemberitahuan ini.

Migrasi siaran digital diatur dalam tahapan-tahapan dalam jangka waktu tertentu, dengan umumnya di banyak negara melalui tahapan simulcast atau siaran bersama dengan siaran analog sebagai masa transisi, sampai waktu penghentian siaran analog atau dikenal dengan analog switch-off (ASO). Di Indonesia, tahapan migrasi ini ditandai dengan aneka perubahan waktu seiring dengan naik-turunnya dan sempat belum pastinya kebijakan pemerintah mengenai siaran digital itu sendiri. Di awal kemunculan siaran digital pada 2009, awalnya pemerintah sempat menargetkan siaran digital dapat berlangsung di seluruh Indonesia pada , setelah beroperasinya infrastruktur penyelenggara televisi digital dalam kurun waktu 2009 hingga 2012[19] walaupun kemudian tidak terwujud.[20] Kemudian, pada rancangan baru yang dibuat pasca Permenkominfo No. 22/2011 dikeluarkan, pemerintah merencanakan bahwa proses migrasi secara resmi akan dimulai pada 2012, dengan target proses ASO akan tuntas pada 2018. Secara garis besar, tahapan cakupan migrasi televisi digital saat itu direncanakan sebagai berikut:

Selain cakupan wilayah, pemerintah juga menargetkan peningkatan cakupan (coverage) siaran digital menurut penduduk saat itu.

* Pada direncanakan 10% penduduk sudah tercakup siaran digital.
* Pada direncanakan 20% penduduk sudah tercakup siaran digital.
* Pada direncanakan 35% penduduk sudah tercakup siaran digital.
* Pada direncanakan 50% penduduk sudah tercakup siaran digital.
* Pada direncanakan 75% penduduk sudah tercakup siaran digital.
* Pada direncanakan 100% penduduk sudah tercakup siaran digital.[21]

Pasca pembatalan Permenkominfo No. 22/2011 yang memberi landasan bagi ASO di Mahkamah Agung, maka dikeluarkan penggantinya berupa Permenkominfo No. 32/2013 yang menghapuskan target waktu ASO seperti telah disebutkan di atas. Sebagai penggantinya, aturan baru ini hanya mengatur tentang kapan siaran digital akan dimulai di berbagai daerah, dari tergantung status daerahnya (ekonomi maju/ekonomi kurang maju).[22] Ditambah dengan kemandekan siaran digital pasca 2015, membuat pemerintah tidak lagi menetapkan tahapan-tahapan ASO secara rinci sejak itu dan lebih mengandalkan “ASO alami” tanpa batas waktu dan sesuai selera pasar/konsumen.[3] Baru pasca pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja pada 2 November 2020, pemerintah menerbitkan aturan turunannya (yaitu Permenkominfo No. 6/2021) yang menetapkan waktu migrasi siaran digital di berbagai daerah (sebelumnya, beberapa daerah sempat merencanakan bahwa migrasi akan dilakukan secepatnya, seperti Kalimantan Timur pada 30 Juni 2021 dan Jakarta pada 2 November 2021, walaupun semuanya tidak terealisasi).[23][24] Dalam percobaan migrasi kedua ini, waktu yang diberikan cenderung lebih singkat, hanya selama 2 tahun hingga 2022.

Pada awalnya, waktu ASO akan dibagi menjadi lima tahap, yaitu pada 17 Agustus 2021 (6 wilayah layanan), 31 Desember 2021 (20 wilayah layanan), 31 Maret 2022 (30 wilayah layanan), 17 Agustus 2022 (31 wilayah layanan) dan terakhir pada 2 November 2022 (24 wilayah layanan).[25] Namun, kemudian waktunya dijadwal ulang kembali dengan penetapan Permenkominfo No. 11/2021 (yang dikeluarkan pada 10 Agustus 2021) seiring dengan masukan dari berbagai pihak dan juga dikarenakan pandemi Covid-19 yang terus berlangsung, sehingga waktu migrasi menjadi sepenuhnya pada 2022 dalam tiga tahap dan dimulai waktunya dari 30 April 2022[11][26] (56 wilayah siar 30 April, 31 wilayah siar 25 Agustus, dan 25 wilayah siar 2 November).[27] Meskipun awalnya pemerintah cukup optimis dalam ASO tahap pertama di 30 April,[28] kemudian sehari menjelang ASO pertama, pada 29 April, pemerintah memutuskan menunda kembali ASO di mayoritas wilayah ke batas waktu yang belum ditentukan, menyisakan 4 wilayah siaran di 3 provinsi saja yang akan dilakukan ASO pertama.[29] Pemerintah beralasan karena set-top-box belum selesai dibagikan di 52 wilayah siar ditambah belum tuntasnya perizinan MUX swasta[30] maupun belum dibangunnya infrastruktur mux, maka ASO akan ditunda sambil menunggu selesainya pembagian STB, penuntasan infrastruktur dan evaluasi.[31] Meskipun demikian, proses sosialisasi televisi digital akan tetap dilakukan di daerah yang mengalami penundaan ASO.[32] Meskipun akhirnya hanya mematikan siaran analog di beberapa daerah saja, pemerintah tetap mengklaim bahwa ASO tahap pertama “sukses” dilakukan dan bisa menjadi contoh bagi daerah lainnya.[33]

Saat penundaan ASO pertama diumumkan, pemerintah menyatakan, ASO tahap pertama akan diadakan tidak serentak, melainkan bertahap, sedangkan untuk tahap kedua dan ketiga akan diadakan serentak pada jadwal yang ditentukan sebelumnya.[34] Belakangan, setelah mengklaim “perlu melakukan readjustment agar tepat sasaran dan efektif terhadap masyarakat”, pemerintah kembali berubah sikap: menyatakan sistem baru yang bernama multiple ASO. Pemerintah menyebut bahwa ASO dapat dilakukan tanpa memerhatikan batasan waktu, jika daerah-daerah sudah memenhi syarat. Syarat itu adalah terdapat siaran TV analog yang akan dihentikan siarannya; telah beroperasi siaran TV digital sebagai penggantinya, dan sudah dilakukan pembagian bantuan set top box gratis bagi rumah tangga miskin di wilayah tersebut. Artinya, kali ini pemerintah membebaskan daerah melakukan ASO jika sudah siap, dengan batas akhir pada 2 November 2022. Kebijakan ini diambil terutama karena keluhan mengenai penyediaan dekoder, ditambah adanya gugatan pada kebijakan digitalisasi televisi.[35][36][37]

Belakangan, lagi-lagi pemerintah mengubah pernyataannya dengan menyatakan “tidak ada ASO serentak”, dan awalnya direncanakan akan terjadi di 222 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia. Pada realisasinya lagi pada 2 November 2022, pematian televisi analog pun terbatas hanya di Jabodetabek dan sekitarnya.[38] Lebih parahnya lagi, pasca seremoni “ASO” tersebut, justru masih ada sejumlah stasiun televisi yang bersiaran di Jabodetabek. Hal ini membuat sejumlah pihak mengkritik pemerintah akibat sikap inkonsistensi, ketidaktegasan dan ketidakpatuhan pemerintah kepada klausul UU Cipta Kerja.[39][40] Pemerintah dinilai selalu membuat kebijakan yang tidak matang[41] dan justru membiarkan penyimpangan/pelanggaran oleh pihak swasta terjadi.[42] Maka, bisa dikatakan saat ini tidak jelas kapan siaran televisi analog terakhir di Indonesia akan dimatikan akibat kekacauan pelaksanaan rencana yang sudah disusun sebelumnya. Namun, pemerintah mengklaim dalam kesempatan ASO 2 November 2022, bahwa pemerintah saat ini sedang menyusun rencana baru terkait pelaksanaan ASO.[43] Beberapa wilayah yang disebutkan tengah dipertimbangkan untuk ASO setelah Jabodetabek dan 230 kota/kabupaten[44] adalah Gerbangkertosusila,[45] Semarang, Yogyakarta, Surakarta, dan Batam.[46]

Kampanye
Sejak 2012, demi memuluskan siaran digital, pemerintah meluncurkan kampanye program migrasi televisi digital di Indonesia. Kampanye dilakukan lewat berbagai acara, publikasi, internet, dan lainnya. Maskot dari kampanye (tahap pertama) ini dikenal dengan nama “Si Arta” (singkatan dari Siaran Digital), berwujud seekor burung nuri berwarna hijau. Selain adanya maskot Si Arta, berbagai iklan juga diluncurkan (di televisi maupun baliho), dan acara-acara maupun pameran juga diikuti oleh kampanye ini. Untuk memperkuat gerakan ini pemerintah juga meluncurkan situs web (di tvdigital.kominfo.go.id), narahubung (contact center) dengan nomor telepon (021) dan juga akun media sosial seperti Twitter (@TVDigital_IDN).[47][48] Seiring dengan mandeknya migrasi televisi digital sejak 2015, maka program kampanye migrasi ini menjadi mati suri.

Seiring dengan “bangkit”-nya siaran digital menjelang penghapusan siaran analog pada 2022, kampanye migrasi televisi digital dihidupkan kembali oleh pemerintah, kali ini dengan membentuk suatu komite dari Kemenkominfo bernama “Gugus Tugas Migrasi Sistem Televisi Terestrial Analog ke Digital”. Kampanye tahap kedua ini hadir dengan citra baru. Dari maskot, alih-alih Si Arta, dikenalkan sebuah maskot baru berwujud komodo kuning bernama “Modi” (Maskot Digital Indonesia). Modi melambangkan hewan kuno yang bisa beradaptasi sesuai perubahan zaman. Selain maskot baru, medium-medium kampanye baru juga diluncurkan seperti adanya logo baru berbentuk komodo, slogan (Bersih, Jernih dan Canggih), situs web baru (siarandigital.kominfo.go.id), contact center baru (159) dan akun media sosial baru.[49] Kampanye dan maskot migrasi siaran digital ini diperkenalkan pada awal tahun 2021.[50][51] Demi menyukseskan migrasi ini, berbagai promosi dilakukan seperti dengan sosialisasi lewat aneka konferensi, iklan secara daring maupun luring, maupun kampanye menggunakan aneka medium.[52][53] Sesungguhnya, sempat ada juga lomba yang diadakan pemerintah demi mendapatkan lagu tema migrasi siaran digital,[54] namun entah kenapa hasilnya tidak pernah terdengar.

Selain dari pemerintah, dorongan juga dilakukan kepada pemangku kepentingan (stakeholder) utama dalam proses transisi, yaitu stasiun televisi. Dalam Permenkominfo No. 32/2013, pemerintah mewajibkan agar stasiun televisi dalam periode simulcast menayangkan iklan layanan masyarakat untuk menjelaskan proses implementasi penyiaran televisi digital paling sedikit setiap 2 (dua) jam dari seluruh waktu siaran.[55] Pemerintah juga mendorong agar promosi siaran digital ditingkatkan, salah satunya adalah dengan menampilkan logo siaran digital Modi dalam layar televisi. Selain kepada stasiun televisi, pemerintah juga mendorong kepada produsen elektronik agar segera menghentikan produksi televisi analog.[56] Promosi-promosi ini dirasa penting, karena masih banyak penduduk Indonesia yang belum terlalu mengerti mengenai televisi digital atau proses ASO,[57] entah karena daerah mereka merupakan blank spot[58] atau karena migrasi yang terlambat dibandingkan negara lain sehingga publik mencampurkan layanan lainnya seperti OTT dengan televisi digital terestrial maupun menggunakan perangkat yang tidak tepat.[59]

Bantuan kepada masyarakat
Agar seluruh masyarakat (termasuk masyarakat miskin) menerima siaran digital, salah satu kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah rencana membagikan set-top box (STB) gratis ke kelompok ini. Rencana ini sesungguhnya sudah ada bahkan ketika masih di fase awal (2009), dengan target sebanyak 1.000 unit pada masa itu (walaupun akhirnya lebih dari 3.000 unit).[60][61] Saat ini, pemerintah memperkirakan akan dibagikan sebesar 6,7-6,8 juta unit STB ke penduduk yang membutuhkan (dari kebutuhan 37 juta unit),[62] yang direncanakan akan dibagikan menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari Kementerian Sosial.[63] Metode pembagian lain yang umum adalah dengan kuis/undian dalam berbagai acara ke publik.[64]

Selain dari pemerintah, juga datang STB secara bertahap dari pihak swasta (penyelenggara multipleksing). STB ini merupakan hasil komitmen penyelenggara multipleksing dalam proses seleksi mereka. Diperkirakan, pemerintah akan menyediakan 1 juta unit dari STB pada ASO 2022, sedangkan penyelenggara multipleksing akan menyediakan sisanya. Pada awalnya, diperkirakan ada 8,7 juta STB yang akan dibagikan dalam proses seleksi (BSTV 3 juta unit; MetroTV 2 juta unit; MNC 1,72 juta unit; SCM 1,47 juta unit; RTV 500 ribu unit; VIVA sebesar 36 ribu unit dan Trans Media sebesar 16 ribu unit).[65] Akan tetapi, karena kemandekan siaran digital, pembagian STB dari pihak swasta ini sempat terbengkalai. Tercatat, hanya BSTV yang tercatat pernah membagi-bagikan STB-nya di Malingping pada Agustus 2014, itu pun belum mencapai 3 juta.[66][67]

Baru ketika pada 2021, pihak swasta mulai membagi-bagikan STB ke publik, seperti Trans7, pada Oktober 2021 dengan mencapai lebih dari 1.000 unit di berbagai wilayah Jabodetabek.[68] Namun, pembagian STB yang formal sebagai pelaksanaan komitmen penyelenggara multipleksing swasta dan bantuan pemerintah, baru berlangsung efektif sejak 15 Maret 2022 dalam rangka menyambut ASO tahap pertama,[69] diundur dari rencana pada Januari 2022 seiring upaya pematangan komitmen.[70][63] Berdasarkan verifikasi ulang Kemenkominfo, diperkirakan pada ASO tahap 1 dan 2 akan dibagikan 5,2 juta unit STB untuk masyarakat miskin, meliputi 1 juta dari pemerintah dan sisanya swasta (1.213.750 juta unit dari SCM; 1.143.121 juta unit dari MNC; 616.511 unit dari Trans Media; 704.378 unit dari MetroTV; dan 500.000 unit dari RTV). Selain itu, ada juga dari VIVA sebesar 32.849 unit, hal ini belum termasuk kekurangannya 153.000 unit untuk dua tahap ASO dan tahap ketiga yang belum terdata/terpenuhi.[71][72]

Khusus pembagian STB bagi ASO pertama, pemerintah menunjuk Pos Indonesia sebagai penyalur bantuan STB dari Kemenkominfo ke rumah warga miskin (mencapai 87.310 unit),[73][74] sedangkan pihak swasta penyelenggara mux membagikan STB secara mandiri.[75][72][76] Akan tetapi, pembagian ini seringkali juga masih mendapatkan kritik, seperti kekhawatiran tidak seriusnya pihak swasta mematuhi kewajiban mereka,[77] kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah dan pihak swasta,[78] maupun belum jelasnya skema/jadwal penyaluran STB di berbagai daerah.[79][80] Ketidakseriusan pihak swasta dalam memenuhi pembagian komitmen STB-nya (dibanding bantuan STB pemerintah yang sudah mencapai 90% dari target)[73] dianggap menjadi salah satu penyebab kegagalan rencana ASO serentak tahap pertama pada 30 April 2022.[30]

Dikabarkan pada pelaksanaan ASO 2 November 2022, pemerintah telah menyerahkan hingga 1 juta unit STB (di Jabodetabek 473 ribu unit, 98,7% dari target). Pemerintah juga menyediakan “Posko ASO” yang dihadirkan di sejumlah hotel di Jabodetabek selama 3 hari (2-4 November 2022) untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan hak STB-nya.[81] Meskipun demikian, ada kritik dari pengamat yang menilai pembagian dekoder TV digital gratis selama ini belum tertata dan tepat sasaran, yang cenderung mengutamakan aspek kemiskinan dibanding kepemilikan atas pesawat TV. Belum lagi hal yang sama terulang seperti sebelumnya, yaitu rendahnya pemenuhan komitmen swasta dalam penyediaan STB. Hal ini mengingat komitmen tersebut tidak bersifat mengikat dan berkekuatan pidana, sehingga pemerintah hanya bisa memberikan imbauan saja.[82]

Sejarah Salah satu bentuk penyiaran digital paling awal di Indonesia adalah aplikasinya pada siaran televisi satelit berlangganan Indovision (sekarang MNC Vision). Indovision menggunakan sistem DVB-S sejak 1997, seiring peluncuran satelit Indostar-1.[83] Selain itu, sejumlah televisi swasta juga sudah menyiarkan siarannya di satelit secara digital sejak 1999.[59] Sedangkan untuk siaran terestrial free to-air, langkah awalnya di Indonesia baru dimulai sejak Juni 2004.[84] Kala itu, lembaga bentukan Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) bernama “Tim Nasional Migrasi Televisi dan Radio dari Analog ke Digital” (disingkat Timnas Migrasi) yang terdiri atas sejumlah lembaga (seperti TVRI, RRI, BPPT, Kadin, YLKI, ATVSI, dan PRSSNI) ditambah berbagai pihak seperti pakar dan akademisi, telah melakukan beberapa kajian, diskusi dan analisis terhadap implementasi televisi digital di Indonesia.[84]

Kajian ini mengarah ke munculnya uji coba siaran televisi digital pertama di Indonesia pada April-Mei 2006 di Jakarta, dengan penyiar pertamanya saat itu PT Supersave Elektronik yang bersiaran di kanal 27 UHF (menimpa kanal analog Spacetoon),[85] menggunakan sistem DTMB dari Tiongkok; dan sistem lain DVB-T (dari Eropa) di 34 UHF agar dapat dicari mana yang terbaik. Hasil pengujian ini menyimpulkan bahwa DVB-T lebih cocok untuk diimplementasikan di Indonesia.[60][86] Selain dari Timnas Migrasi, pengkajian tentang potensi siaran digital juga merupakan hasil dorongan dari beberapa lembaga internasional, seperti International Telecommunication Union (ITU) pada 2006 yang menargetkan bahwa ASO sudah harus dilakukan pada 2015, dan ASEAN yang memiliki target ASO pada 2020.[87] Peraturan Pemerintah (PP) turunan Undang-Undang No. 32/2002 (PP No. 11/2005 dan PP No. 50/2005) juga sesungguhnya sudah mengakomodasi konsep siaran digital, walaupun tidak diatur secara rinci.[88][89]

Kemudian, sejumlah stasiun televisi seperti TVRI dan RCTI tercatat juga melakukan uji coba siaran digital pada Juli-Oktober 2006 di kanal 34 UHF, dan kemudian TVRI melanjutkan uji cobanya pada tahun 2007 pada kanal 27 UHF.[90] Uji coba juga terus dilakukan oleh berbagai lembaga, seperti BPPT-ITS di Jakarta pada Februari 2007.[84] Pada tahun yang sama, Depkominfo resmi menetapkan standar televisi digital pertama yang akan diterapkan di Indonesia: DVB-T, dan pada 2008, dikeluarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 27/2008 yang memberi peluang bagi uji coba awal siaran televisi digital di Indonesia.[91] Soft launching siaran televisi digital diluncurkan pada 13 Agustus 2008 di auditorium TVRI, dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. LPP TVRI menjadi pelaksana dari peluncuran ini, bekerjasama dengan Telkom Indonesia, BPPT, LEN Industri, INTI, Polytron, dan RRI.[92] Televisi digital di Indonesia resmi diluncurkan pada 20 Mei 2009 (di Hari Kebangkitan Nasional ke-101) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di studio SCTV Senayan.[93][94] Sosialisasi siaran televisi digital ke publik secara simbolis diadakan pada 26 Juni 2009 dengan penyerahan set-top box ke masyarakat di kantor Depkominfo Jakarta.[95] Pada saat peluncuran, uji coba penyiaran digital di Jabodetabek dengan menggunakan sistem DVB-T ini direncanakan akan dipegang oleh dua konsorsium, yaitu konsorsium kerjasama TVRI-Telkom dan Konsorsium Televisi Digital Indonesia (KTDI). Masing-masing konsorsium ini mengoperasikan satu kanal (mux), dalam siaran selama 12 jam sehari.[96]

Pada 3 Agustus 2009, pemerintah juga mulai mengujicobakan sistem televisi digital untuk telepon seluler, menggunakan sistem DVB-H yang perangkatnya disediakan oleh Nokia Siemens Networks.[96] Sistem ini dioperasikan oleh dua konsorsium lain, dengan skema direncanakan berbayar (walaupun akhirnya kurang sukses).[101]

Pemerintah pada saat itu mematok target bahwa pada tahun 2009 merupakan akhir dari pemberian izin televisi analog dan awal dari pemberian izin bersiaran digital ke stasiun televisi baru. Selain itu, juga direncanakan pemerintah akan meminjam EUR 17,6 juta dari pemerintah Spanyol bagi mendukung digitalisasi di perbatasan saat itu.[61][105] Sebagai persiapan, pemerintah saat itu sudah mencoba membuat website, rancangan sosialisasi, rencana waktu transisi dalam “Peta Jalan Infrastruktur TV Digital”, dan pameran-pameran bagi mempromosikan teknologi baru ini. Hal ini masih belum ditambah upaya bagi-bagi STB pada , yang semuanya mencapai lebih dari 3.000 unit dari Depkominfo, KTDI dan konsorsium TVRI-Telkom.[60][106] Walaupun masih belum matang, siaran digital awal ini sudah disambut antusias oleh produsen elektronik, seperti Polytron, LG dan Akari yang mengeluarkan produk-produk penerima siaran DVB-T.[107]

Lalu, pada tanggal 21 Desember 2010 siaran digital TVRI diluncurkan di Jakarta, Surabaya, dan Batam, oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama dengan beberapa pejabat (seperti menteri dan kepala daerah). Stasiun televisi khusus digital pertama di Indonesia, TVRI 3 (kini TVRI World) dan TVRI 4 (kini TVRI Sport) juga diluncurkan bersamaan dengan siaran digital TVRI Nasional dan stasiun TVRI daerah.[108][109] Di awal tahun yang sama, siaran digital juga mulai diperluas ke kota Bandung, juga oleh TVRI di kanal 35 UHF yang berisi seluruh stasiun televisi nasional.[97][106] Kehadiran televisi digital di Bandung ini diresmikan oleh Menkominfo Tifatul Sembiring di Sasana Budaya Ganesha, diiringi dengan pembagian 1.000 unit STB ke publik.[94] Perluasan juga awalnya sempat direncanakan di beberapa daerah, seperti Yogyakarta yang pada saat itu ditargetkan memiliki 3 mux (untuk dua konsorsium yang sudah disebutkan diatas dan satu lagi untuk stasiun televisi lokal).[110]

Namun, seiring perkembangannya TV digital tersebut terkatung-katung tanpa landasan yang jelas. KTDI kemudian memutuskan untuk memutus siarannya pada 18 Februari 2010, dan beberapa TV lain juga sempat mematikan siarannya. Hal ini disebabkan oleh belum adanya ketidakpastian aturan jelas mengenai skema transisi maupun konflik internal dalam KTDI itu sendiri.[60][111] Pemerintah menjustifikasi pematian siaran ini dikarenakan masa uji coba siaran digital saat itu sudah selesai pada Agustus 2009.[96] Praktis, hingga Agustus 2011, TVRI adalah satu-satunya jaringan TV yang menyiarkan televisi digital di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Batam. TVRI memiliki 376 pemancar analog, 30 di antaranya kompatibel dan siap dialihkan ke digital.[112] Dengan dikeluarkannya Permenkominfo No. 22/2011 (landasan hukum pertama kebijakan ASO/penghentian siaran analog), praktis siaran digital kembali muncul di sejumlah daerah yang diadakan oleh TV-TV swasta nasional yang sudah ada. Perkembangan-perkembangan lain kemudian muncul, seperti dikeluarkannya Permenkominfo No.5/2012 (yang mengganti standar DVB-T menjadi DVB-T2), serta kemudian Permenkominfo No. 17/2012 dan Kepmenkominfo No. 95/2012 yang memberi kesempatan kepada swasta untuk bermain dalam proses digitalisasi penyiaran dalam bentuk pengelolaan multipleks (mux).[60] Dalam skema saat itu, terdapat 15 daerah mux di seluruh Indonesia dan proses ASO akan dilakukan secara bertahap hingga 2018. Kemudian, sebagai realisasi dari peraturan tersebut, pada Juni 2012 Kemenkominfo mengadakan seleksi penyelenggara mux. Seleksi ini berhasil menghasilkan pengelola mux di 5 daerah (DKI Jakarta-Banten; Jawa Barat; Jawa Tengah-DIY; Jawa Timur dan Kepulauan Riau). Lelang kemudian dilanjutkan untuk wilayah Aceh-Sumut dan Kaltim-Kalsel pada Maret 2013.[113] Mayoritas pemenang pengelola multipleksing dalam seleksi tersebut berasal dari perusahaan media besar (Grup MNC, SCM, VIVA, Trans Media dan Media Group), sehingga sempat menuai penolakan dari berbagai pihak. Alasannya karena skema tersebut dirasa tidak memerhatikan keragaman kepemilikan, serta terkesan merugikan dan meminggirkan pemain dari stasiun televisi lokal yang sudah membangun infrastruktur siaran.[114][115]

Walaupun demikian, sejumlah stasiun televisi yang telah memenangkan hasil seleksi tersebut tetap memulai siarannya, seperti MetroTV di Jakarta, Bandung, Medan, Semarang, Surabaya, serta Malingping, Pandeglang, Anyer, dan Cilegon di Banten sejak September 2012.[116] Juga, seiring dengan perkembangan sistem, siaran DVB-T perlahan-lahan menghilang dengan seluruh stasiun televisi swasta berpindah ke DVB-T2, menyisakan TVRI yang kemudian menjadi yang terakhir memutus siaran DVB-T nya.[117] Dalam perkembangannya, pemerintah kemudian juga melakukan sejumlah penambahan penyelenggara pada 2014. Di Jakarta, misalnya penyelenggara siaran direncanakan bertambah, yaitu 18 stasiun TV (TV Betawi, Republika TV, KTI, News TV, Gramedia TV, Warna TV, BBS TV, Tempo TV, SportOne, BNTV, Detik TV, Magna TV, City TV, JPTV Jakarta, Smile TV, RIM TV, Nusantara TV, dan tvMu).[118] Ini masih belum ditambah calon pemain lain, seperti Indonesia TV, MGA TV, Sindo TV, Plaza TV, GenTV, Jetset Channel, dan TVQ.[119] Selain itu, pemerintah juga menambah penyelenggara multipleks di Jakarta yaitu dari RCTI dan RTV.[120] Di berbagai daerah lain, seperti Yogyakarta, direncanakan ada 10 stasiun TV baru,[121] sedangkan di Jawa Barat diperkirakan akan terdapat 30 stasiun televisi digital baru.[122]

Sayangnya, pemerintah dalam hal ini cenderung melupakan ketidakpuasan sebagian masyarakat sipil dan asosiasi industri televisi yang tidak puas akan hasil seleksi sebelumnya. Mereka pun dengan berani menggugat ke Mahkamah Agung pada 2012, karena alasan yang sudah disebutkan di atas. Hasilnya, MA kemudian membatalkan landasan hukum siaran digital, yaitu Permenkominfo No. 22/2011.[114] Respon pemerintah (baik itu era Menkominfo Tifatul Sembiring maupun penggantinya Rudiantara) awalnya bersikukuh melanjutkan program ini.[123] Tifatul bahkan mengeluarkan pengganti Permenkominfo yang dicabut MA yaitu dengan Permenkominfo No. 32/2013,[124] sedangkan Rudiantara bertekad melanjutkan migrasi siaran digital dengan tetap menggunakan hasil seleksi sebelumnya karena dianggap penting untuk jaringan 4G LTE.[106] Akibatnya, muncul kembali berbagai gugatan ke pemerintah, seperti dari asosiasi televisi ATVJI dan ATVLI di PTUN. Pada 5 Maret 2015, PTUN resmi mengeluarkan keputusannya yang mencabut seluruh hasil seleksi mux pada 2012 dan 2013 lalu[125] (hal ini diperkuat dengan putusan MA pada 2016 dan 2018).[126] Putusan tersebut bisa dikatakan merupakan “pukulan telak” bagi proses digitalisasi penyiaran nasional, karena dengan kalahnya pemerintah berkali-kali di pengadilan, maka pemerintah lebih mengharapkan revisi Undang-Undang Penyiaran agar segera disahkan.[60] Hal ini untuk mengantisipasi masalah dalam landasan hukum siaran digital, karena didasari selama ini aturannya hanya diatur lewat Peraturan Menteri, bukan undang-undang maupun peraturan pemerintah, sehingga tidak memiliki “cantolan” hukum yang kuat.[127] Beberapa pihak berpendapat, bahwa raksasa media pada saat itu kemungkinan berada dalam pembatalan ini karena tidak ingin “kekuasaan” dan status quo-nya diganggu.[128] Realisasi penghentian siaran digital saat itu secara resmi dituangkan dalam Surat Edaran Menteri Kominfo No. 4/2015, yang dikeluarkan pada 22 September 2015.[129] Dengan ketiadaan hukum bagi siaran digital, maka proyek besar pemerintah ini pun seperti “hidup segan, mati tak mau”. Hal ini semakin diperparah oleh mandeknya revisi UU Penyiaran di DPR, akibat pertentangan siapa pengelola multipleksing: apakah ia single mux (TVRI saja), multi mux (bersama seluruh televisi swasta), ataupun campuran/hybrid mux.[130] Tampak bahwa stasiun televisi swasta seperti menjadi penghalang utama dari proses migrasi ini,[131] meskipun mereka sering kali berkilah bahwa mereka sudah siap dan “tidak bisa menolak teknologi”, hanya saja butuh kepastian tentang skema penyelenggaraannya.[132] Sesungguhnya, sejumlah stasiun TV swasta tetap menjalankan siaran digital, seperti SCTV dan MetroTV (walaupun kini hanya di Jabodetabek saja) dan TVRI masih tetap mempertahankan 4 kanalnya, menjadi satu-satunya TV yang tidak mematikan siaran digitalnya maupun 4 kanal mereka di berbagai daerah secara konsisten.[109] Pada stasiun TV tertentu, misalnya yang ada di bawah grup Media Nusantara Citra (MNC), mereka langsung mematikan seluruh kanalnya[133] dengan alasan ketiadaan hukum.[134]

Selagi menunggu pembahasan RUU Penyiaran yang terkatung-katung, pemerintah tetap berusaha memulai kembali program migrasi televisi digital nasional. Kali ini, pemerintah menempatkan TVRI sebagai pemain utama dalam proses digitalisasi siaran, bekerja sama dengan industri elektronika dan KPI.[135][60] Pada 15 Juni 2016, pemerintah memulai kembali uji coba siaran digital dengan menggandeng 36 LPS/TV swasta (mayoritas baru), yaitu:[136][137]

* Badar TV (PT Badar Televisi Media Persada)
* CNN Indonesia (PT Detik TV Indonesia)
* DAAI TV (PT Duta Anugerah Indah, PT Daya Angkasa Andalas Indah)
* Eka TV (PT Eka Televisi Bandung)
* Gramedia TV (PT Gramedia Media Nusantara, PT Digital Inspirasi Indonesia)
* Indonesia TV (PT Indonesia Visual Televisi Serang)
* Inspira TV (PT Inspira Televisi Indonesia, PT Inspira Media Televisi, PT Inspira Medan Mulia, PT Inspira Multi Talenta)
* JMTV (PT Media Kreatif Sumedang)
* Kemuning TV (PT Kemuning Televisi)
* Kompas TV (PT Cipta Megaswara Televisi, PT Oxcy Media Televisi, PT Televisi Semarang Indonesia, PT Reksa Birama Media, PT Pasundan Utama Televisi, PT Mediantara Televisi Bali, PT Makassar Lintas Visual Cemerlang, PT Borneo Television, PT Kompas TV Media Informasi, dan PT Pratama Cipta Digital)
* NET. (PT Net Mediatama Televisi, PT Televisi Anak Bandung, PT Industri Televisi Semarang, PT Mitra Televisi Yogyakarta)
* Nusantara TV (PT Nusantara Media Mandiri, PT Nusantara Media Mandiri Parahyangan, PT Nusantara Media Mandiri Tapanuli, PT Nusantara Media Mandiri Batam, PT Nusantara Media Mandiri Yogyakarta)
* Opus TV (PT Merah Putih Satu Visi)
* Persada TV (PT Bandung Persada Tivi Digital)
* RIM TV (PT Reka Indah Media)
* Stara TV (PT Televisi Mutiara Elok Digital)
* Tempo TV (PT Media Inti Televisi Nusantara)
* tvMu (PT TVMu Surya Utama)

Ujicoba ini selain diadakan di Jabodetabek, juga dilakukan di 20 kota besar lain seperti Bandung, Yogyakarta dan Medan menggunakan kanal-kanal (multipleks/mux) TVRI yang ada di kota-kota tersebut.[138] Kerjasama ini diformalkan lewat nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) stasiun televisi swasta diatas bersama TVRI pada 9 Juni 2016.[139]Siaran ujicoba yang awalnya direncanakan selesai pada 15 Desember 2016 ini kemudian diperpanjang hingga 9 Juni 2017. Sebagai landasannya, Kemenkominfo menerbitkan aturan baru yaitu Kepmenkominfo No. 1052/2016 (kemudian diganti menjadi 2053/2016).[140] Pada Februari 2017, dari 36 pentandatangan MoU, menurut Menkominfo Rudiantara sudah ada 26 stasiun televisi yang bersiaran di berbagai daerah (meliputi NTV, NET., CNN Indonesia, Inspira TV, Kompas TV, Gramedia TV, tvMu, DAAI TV, Tempo TV, Badar TV, Persada TV dan jaringannya).[132][141] Perlu diketahui bahwa siaran ujicoba ini benar-benar bersifat percobaan saja (tidak mengarah ke ASO), untuk menguji hal-hal seperti konfigurasi jaringan; perangkat dan sistem mux; layanan tambahan pada siaran digital, misalnya data dan informasi cuaca; dan skema sosialisasi siaran digital ke depan.[135]

Hingga 2019, pemerintah tak kunjung mendapatkan kabar baik dari pembahasan RUU Penyiaran, sementara itu Indonesia tampak tertinggal dari beberapa negara tetangga (seperti Brunei Darussalam, Singapura dan Malaysia) dalam proses transisi ke siaran digital.[142] Meskipun beberapa kali pemerintah mendorong agar migrasi segera dilakukan,[143] ​namun tampak lebih dianggap sebagai “angin lalu” semata, terbukti dari minimnya minat sejumlah televisi swasta besar dalam mempromosikan migrasi siaran digital. Walaupun demikian, pada tahun ini pemerintah dengan “berani” mencanangkan bahwa 2024 merupakan waktu terakhir stasiun TV di Indonesia bersiaran analog.[144] Rencana ini jelas meleset dari target awal pada 2010 lalu yang menargetkan ASO (penghentian siaran analog) pada 2018.[145] Pemerintah kemudian juga mendapatkan angin segar dengan munculnya dukungan dari dua grup media besar, yaitu Trans Media dan Media Group yang menyatakan bahwa mereka akan melakukan siaran digital di 12 daerah yaitu Aceh, Sumatra Utara, Kepulauan Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Utara setelah memperbaharui izin multipleks-nya. Menurut mereka, digitalisasi TV adalah sebuah keniscayaan.[146] Uniknya (kemungkinan mencerminkan sikap pemiliknya), dua reaksi berbeda justru muncul dari pimpinan asosiasi TV swasta nasional, ATVSI akan langkah kedua grup tersebut. Dari sang ketua, Ishadi S.K. (Trans Media) tampak mendorong ide tersebut,[147] namun wakilnya (saat itu) Syafril Nasution (MNC) menolaknya dengan alasan “ketiadaan regulasi”.[148] Pada 31 Agustus 2019, dua TV swasta yang berasal dari grup yang disebutkan sebelumnya (Trans7 dan MetroTV), juga terlibat dalam peluncuran siaran digital di perbatasan di Nunukan, Kalimantan Utara.[149] sekarang
Kemandekan proses revisi UU Penyiaran pada akhirnya dapat dipecahkan dengan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja di tanggal 2 November 2020. Walaupun undang-undang ini bersifat kontroversial, namun dengan adanya penyelipan pasal 60A di UU Penyiaran yang mewajibkan penghentian siaran analog di Indonesia dalam waktu “paling lambat 2 tahun” sesudah disahkan (2022), maka pintu migrasi ke TV digital yang selama ini tertutup, telah terbuka. Alasan penyelipan topik ASO dalam UU Ciptaker adalah untuk menyediakan frekuensi eks-siaran analog untuk keperluan lain, seperti internet.[150][151] Pasca pengesahan UU tersebut, sejumlah TV swasta segera “menyalakan” kembali siaran digitalnya. TV milik MNC Media misalnya “menyalakan” kembali siaran digitalnya di Jabodetabek, Yogyakarta, Batam dan berbagai daerah di Indonesia lainnya secara bertahap setelah berhenti selama 4-5 tahun. Langkah yang sama kemudian juga dilakukan oleh stasiun televisi swasta lain di berbagai daerah. Menurut ATVSI, TV-TV swasta anggotanya juga mendorong siaran digital di 12 daerah demi mendukung kebijakan simulcast siaran di 34 provinsi pada pertengahan 2021 dan pematian siaran analog pada 2 November 2022.[152]

Sebagai turunan dari UU Ciptaker, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan penting. Sebagai turunan dari UU tersebut di bidang penyiaran, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 46/2021 dan Permenkominfo No. 6/2021 yang mengatur berbagai hal mengenai siaran digital, seperti skema pengelola mux dan penetapan waktu ASO.[11] Lalu, pemerintah juga melakukan seleksi bagi penyelenggara mux di daerah tersisa yang belum didapatkan pengelolanya pada lelang . Hasil seleksi ini diumumkan pada 26 April 2021 sehingga proses seleksi tuntas dilakukan.[153] Walaupun kali ini tampak pemerintah lebih selektif dengan tidak memberikan seluruh stasiun televisi swasta besar kanal siaran di seluruh daerah, namun lagi-lagi pemenangnya mayoritas tampak dikuasai oleh grup media besar (terkecuali Nusantara TV di dua daerah) dan pemerintah tidak melakukan revisi atas hasil lelang yang dirasa kontroversial, sehingga masih memicu kekecewaan dari asosiasi televisi lokal.[154] Namun, tampak pemerintah tidak ingin mengulur waktu lagi, sehingga tetap melanjutkan proyeknya dalam migrasi yang dijadwalkan selesai dalam 2 tahun ini dengan mulai mengadakan berbagai promosi dan kampanye di berbagai daerah dan dengan aneka medium. Salah satu bukti dari keseriusan ini, adalah meskipun pemerintah sempat mengundur tahapan ASO, namun pada 2 November 2021, dalam acara “Anugerah Penyiaran Provinsi Jawa Barat” di Kabupaten Bandung, KPI dan Kominfo sudah “menghitung mundur” waktu setahun dari waktu ASO 2022.[155]

Seiring waktu ASO tahap 1 yang makin dekat, pemerintah juga sudah melakukan verifikasi ulang pada penyelenggara multipleksing,[156] memulai pembagian set-top box sejak Maret 2022 baik oleh pemerintah dan swasta,[157][158] dan terus melakukan berbagai sosialisasi. Selain itu, sejumlah saluran televisi juga mulai bekerjasama dengan penyelenggara multipleksing dan muncul di berbagai daerah.[159][160] Pada 22 April 2022 juga, telah diselenggarakan “Kick Off Analog Switch Off Tahap 1” di Medan,[161] dan pada 26 April 2022 siaran televisi digital telah diresmikan di Kepulauan Riau oleh Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad.[162]

Pelaksanaan ASO dan respon
Di tanggal 30 April 2022, ASO tahap pertama telah dilakukan (lebih tepatnya dimulai karena tidak serentak) di 4 wilayah siaran (dari 56 wilayah yang direncanakan) di provinsi Nusa Tenggara Timur, Papua Barat dan Riau.[30][33] Namun, ASO tahap pertama ini rupanya tidak direspon positif oleh beberapa kalangan. Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI), misalnya mengkritik kekurangberpihakan pemerintah pada televisi lokal yang dianggap dirugikan dari proses ASO. Belum lagi pemerintah dirasa melangkahi beberapa regulasi yang dibuatnya, belum pahamnya banyak masyarakat akan ASO, dan pembagian komitmen STB yang menurun dari 8,7 juta menjadi 5,7 juta untuk pihak swasta. Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 yang menetapkan UU Cipta Kerja No. 11/2020 sebagai inkonstitusional bersyarat,[163] dianggap menjadi landasan kuat bahwa ASO harus ditunda kembali dan dibicarakan dahulu bersama stakeholder terkait.[164] Alasan serupa pun diberikan oleh Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) yang menginginkan revisi Undang-Undang Penyiaran No. 30/2002 diselesaikan dahulu sebelum ASO[165] dan Bambang Santoso, ketua ATVLI.[166]

Belakangan, menjelang ASO tahap kedua (25 Agustus 2022), datang juga kritik dari pemain-pemain besar seperti SCM, Transmedia dan Visi Media Asia yang meminta penundaan dengan berbagai alasan.[167][168] Tidak hanya itu, muncul gugatan kemudian dari sebuah stasiun televisi lokal, Lombok TV yang meminta pemerintah menghentikan rencana ASO karena hasil gugatannya dan asosiasi televisi swasta ATVSI.[169] Akibat dari berbagai kritik dan masukan tersebut, pemerintah tercatat beberapa kali mengubah tatacara pelaksanaan ASO, dan hingga saat ini, tidak banyak daerah lain yang mampu melaksanakan ASO sesuai target awalnya.

Akhirnya, pada 2 November 2022 pemerintah mengadakan seremoni transisi penghentian siaran analog, yang dihadiri oleh sejumlah pejabat dari industri pertelevisian, Menkominfo Johnny G. Plate dan Menkopolhukam Mahfud MD; seremoni ini dimaksudkan sebagai pertanda penghentian siaran analog yang resmi diberlakukan pada 24:00 WIB.[170] Akan tetapi, pada saat yang sama, nampak ASO hanya terbatas di Jabodetabek dan masih diwarnai penyimpangan seperti masih adanya televisi swasta yang tidak menghentikan siaran analognya (RCTI, MNCTV, GTV, iNews, antv, dan Cahaya TV).[171][42] 4 stasiun televisi yang menolak ASO tersebut berasal dari grup MNC yang justru kemudian menggunakan isu ASO untuk mempropagandakan pemiliknya, Hary Tanoesoedibjo sebagai “pro rakyat”.[172] Raksasa media tersebut mengklaim tindakan mereka diambil karena alasan “mementingkan kepentingan masyarakat”, belum mendapat surat yang mewajibkan ikut bergabung dalam ASO 2 November 2022,[173] serta hasil gugatan Lombok TV dan putusan MK akan UU Cipta Kerja. Tidak matinya siaran dari RCTI dalam seremoni 2 November tersebut membuat Menkominfo kecewa dan memerintahkan “kerjasama” dan “pendekatan lapangan” agar televisi tersebut mau melakukan ASO.[174]

Belakangan, setelah disemprit oleh Menkopolhukam Mahfud MD yang mengancam mencabut izin serta menutup siaran televisi-televisi milik MNC Group dan sejumlah televisi lainnya yang masih bersiaran analog,[171] pihak MNC menyatakan mereka bersedia untuk menutup siaran mereka pada 3 November pukul 24:00 WIB, namun setelahnya mereka akan menggugat ke pengadilan karena “terpaksa melakukannya” [175] dan kebutuhan kepastian hukum. Dalam rilis resmi perusahaan, dinyatakan bahwa dengan ASO yang terbatas di Jabodetabek “berpotensi menimbulkan terdegradasinya nilai kesatuan berbangsa”.[176] Gertakan Hary Tanoe tersebut direspon Mahfud yang menjamin pemerintah siap menghadapi tindakan raja media tersebut,[177] dan menyentil Hary Tanoe agar tidak mencari masalah.[178] Bagi sejumlah pihak, sikap Hary Tanoe dan kelompok media miliknya tersebut terkesan aneh, mengingat gagalnya pemberlakuan ASO nasional (hanya di Jabodetabek saja) pada 2 November 2022 (yang bisa ditafsirkan melanggar UU Cipta Kerja) salah satunya merupakan akibat dari tekanan industri penyiaran,[179] dan ada yang menafsirkan klaim “pro rakyat” sang konglomerat tersebut hanya tameng demi melindungi bisnisnya.[180] Sebenarnya, reaksi dan tindakan hampir serupa juga disampaikan/dilakukan oleh Visi Media Asia (VIVA), meskipun dengan respon yang lebih lunak.[181]

Adapun selain penolakan dari pihak diatas, juga datang keluhan serupa seperti dari ATVLI (yang memang merupakan pihak yang sudah lama menolak ASO, diklaim karena aspek legalitas).[182] Namun, ada juga dukungan hadir ke proyek ASO pemerintah, seperti dari sejumlah anggota DPR,[183][184] MPR dan eks-Menkominfo Tifatul Sembiring. Bagi dua pihak yang terakhir disebutkan, mereka menyarankan pemerintah agar tegas pada televisi swasta yang masih membangkang akan kebijakan ASO.[185][186] Sementara itu, respon masyarakat cukup beragam dalam menanggapi ASO: sejumlah toko elektronik mencatatkan peningkatan penjualan STB,[187] namun ada juga masyarakat yang kurang peduli, seperti menjual televisi analognya.[188] Bagi beberapa kalangan masyarakat, mereka justru terkesan dirugikan dari ASO Jabodetabek yang masih kurang matang, yang membuat mereka justru kehilangan sumber informasi dari televisi,[82] masih belum adanya pemerataan siaran, dan keengganan sejumlah pihak mengeluarkan dana ekstra demi membeli STB[189] yang belakangan harganya sudah melambung.[190] Meskipun demikian, pemerintah sendiri mengklaim bahwa pada November 2022, hasil kerja mereka menghasilkan 98% penduduk Indonesia sudah siap berpindah ke siaran digital.[191] Jika ada pihak yang masih menyebut masyarakat dirugikan, menurut Kominfo, lebih disebabkan subjekivitas dan informasi yang tidak lengkap.[44]

Industri
Asosiasi utama bagi pemain-pemain dalam penyiaran digital berada dalam satu wadah bernama ATSDI (Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia). Asosiasi ini dibentuk pada sebuah konferensi pada 25 Maret 2015 di Cimahi, Jawa Barat. Ketua umum pertamanya adalah Gilang Iskandar dan Sekretaris Jenderal dijabat oleh Eris Munandar. Saat ini, Eris merupakan ketua umum dari asosiasi ini dan sekjennya dijabat oleh Tulus Tampubolon.[192][193] ATSDI terdiri dari 65 anggota,[194] seperti Nusantara TV, Inspira TV, Tempo TV dan Persada TV. Dibanding asosiasi televisi lain seperti ATVJI, ATVLI dan ATVSI yang cukup resisten atau ambivalen dalam kebijakan migrasi siaran digital, ATSDI tampak sangat mendorong proses ini, lewat proses seperti pertemuan dengan pemerintah (Kemenkominfo, Kemenkumham), Rapat Dengar Pendapat dengan komisi dan sejumlah fraksi di DPR, diskusi dengan LSM terkait, wawancara dan sosialisasi penyiaran digital dengan sejumlah media, dan mengadakan seminar-seminar baik internal maupun eksternal.[195][196] Selain ATSDI, pihak lain yang berkepentingan mendorong digitalisasi juga datang dari sejumlah pemain elektronik.[197]

Lihat pula
Referensi
Pranala luar